JAKARTA, sp-globalindo.co.id – “Saya tidak memikul beban masa lalu.” Ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat kampanye Pilpres 2019.
Jokowi berkali-kali menegaskan, sebagai calon presiden dari kalangan non-elit, ia tidak memiliki beban masa lalu terkait peristiwa yang dinilai mencoreng nama baik negara.
Baca juga: Polri Bangun 13 RS Bhayangkara Selama 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Begitu pula dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, pernyataan ini penuh harapan, terutama bagi mereka yang merasa hak asasinya dilanggar.
Komitmen tersebut memang benar ia ucapkan saat pertama kali memimpin negara ini pada tahun 2014. Baru beberapa bulan menjabat, pelanggaran HAM berat terjadi di Paniai, Papua.
Pada 7 Desember 2014, 21 warga sipil dilaporkan terluka dan empat lainnya tewas akibat bentrokan dengan pihak berwenang.
Komnas HAM kemudian melakukan penyelidikan dan menyimpulkan Paniai dilaporkan melakukan pelanggaran HAM berat.
Tiga minggu setelah kejadian tersebut, Jokowi angkat bicara dan meminta agar kasus tersebut diselesaikan sepenuhnya. Pengadilan Hak Asasi Manusia Paniai
Meski sulit, Jokowi berhasil menepati janjinya dan membawa kasus tersebut ke pengadilan HAM.
Pengadilan Hak Asasi Manusia kasus Paniai yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, memutuskan pada Kamis, 8 Desember 2022, delapan tahun setelah peristiwa itu terjadi.
Baca juga: Menhub: Pembangunan infrastruktur 10 tahun terakhir bisa dongkrak target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Meski banyak pihak yang kecewa dengan putusan tersebut, terutama terdakwa tunggal Isak Sattu, namun Jokowi membuktikan pelanggaran HAM bisa berujung pada keadilan.
Isak Sattu, sebagai terdakwa tunggal, terbukti tidak membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa dirinya telah melakukan pelanggaran HAM, sesuai dakwaan jaksa. Pembangunan Papua
Jokowi juga memberikan perhatian khusus terhadap Papua, dengan pesatnya pembangunan di wilayah tersebut.
Berdasarkan laman kepresidenan, selama 10 tahun terakhir, indeks pembangunan manusia di Provinsi Papua mengalami peningkatan.
Pada tahun 2014 tercatat sebesar 56,7 persen, sedangkan pada data tahun 2023, indeks pembangunan Papua mencapai 62,25 persen.
Baca juga: Jokowi Sebut Pemerintah Bangun 366.000 Kilometer Jalan di Desa dalam 10 Tahun Terakhir
Begitu pula di Provinsi Papua Barat, pada tahun 2014 indeks pembangunan manusia sebesar 61,28 persen, pada tahun 2014, sekarang atau tahun 2023 meningkat menjadi 66,66 persen.
Meski pembangunan wilayah Papua penuh tantangan, namun hadirnya infrastruktur baru di Papua berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Papua.
Begitu pula dengan meningkatkan jumlah harapan sekolah, menghasilkan lebih banyak talenta unggul dan pelayanan publik yang lebih mumpuni.
Dari sudut pandang kesehatan, angka malaria telah berkurang. Begitu pula dengan angka kematian ibu, penularan tuberkulosis, dan HIV/AIDS. Pembentukan TPPham
Keseriusan pemerintahan Jokowi dalam membela hak asasi manusia di Bumi Pertiwi terlihat jelas pada periode kedua kepemimpinannya.
Puncak yang paling mendapat apresiasi masyarakat adalah terbentuknya Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (TPPHAM).
Meski pelatihan ini mendapat kritik keras dari aktivis hak asasi manusia karena dianggap akan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu tanpa melalui proses hukum, namun pemerintah saat itu membantah bahwa TPPHAM menghilangkan kewajiban mengadili pelaku kejahatan yang melanggar hak orang yang sudah meninggal dunia. .
Dalam beberapa kesempatan, Mahfud MD yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyatakan, TPPHAM bukan berarti menghilangkan kasus hukum pelanggaran HAM.
TPPHAM berfungsi memenuhi kewajiban negara untuk memulihkan hak-hak korban, termasuk hak atas pemulihan, yang sudah terlalu lama terabaikan.
Oleh karena itu, Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 17 Tahun 2022 dan resmi membentuk TPPHAM.
Baca juga: 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi, Lima Polda Baru Terbentuk
TPPHAM kemudian berhasil menyusun 11 rekomendasi kepada pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM sebelumnya.
1. Menyampaikan rasa syukur dan penyesalan atas pelanggaran HAM berat di masa lalu.
2. Mengambil langkah-langkah untuk menata kembali sejarah dan merumuskan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai kisah sejarah yang berimbang versi resmi negara, dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia pihak-pihak yang menjadi korban peristiwa tersebut.