SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Nasional

7 Tahanan Rutan Salemba Kabur: Menyoal Kelebihan Kapasitas

INDONESIA kembali diguncang permasalahan penegakan hukum. Kali ini, tujuh tahanan dan narapidana di Rutan Kelas I, Salemba, Jakarta Pusat, melarikan diri pada Selasa (12/11) dini hari.

Mereka menerobos jeruji besi ventilasi sel dan melarikan diri melalui selokan.

Hingga saat ini, ketujuh narapidana dan narapidana yang kabur tersebut masih dicari polisi.

Baca Juga: Ada Gembong Narkoba Murtala Ilyas, Ini Daftar Nama 7 Narapidana yang Kabur dari Rutan Salemba

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI pada Kamis (14/11) sidak ke Rutan Salemba untuk melihat kondisi TKP dan permasalahan yang ada di sana.

Hasilnya menunjukkan bahwa salah satu penyebab kaburnya narapidana adalah kelebihan kapasitas.

Pusat penahanan tersebut kelebihan kapasitas sekitar 100%, dengan kapasitas hanya 1.500 narapidana, namun ditempati oleh 3.000 narapidana. Hal ini berimplikasi pada kuantitas pengawas dan kualitas pengawasan. Kelebihan kapasitas pusat penahanan dan penjara

Menurut data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Maret 2023. jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia mencapai 265.897 orang. Padahal kapasitas Lapas yang ada hanya maksimal 140.424 orang.

Pada Maret 2023 Overkapasitas Lapas di Indonesia sudah mencapai 89,35 persen. Bahkan pada tahun 2022 itu akan mencapai 103 persen.

Kelebihan kapasitas penjara merupakan masalah yang kompleks. Ada banyak faktor yang mempengaruhi dalam satu sistem peradilan pidana, baik formal maupun substantif.

Pertama, secara materiil, salah satu faktor utamanya adalah setiap tindak pidana yang diatur dalam NC dan di luarnya masih berorientasi pada ancaman pidana berupa pidana penjara/penjara.

Hal ini dinilai wajar mengingat KUHP yang ada saat ini merupakan KUHP peninggalan masa penjajahan Belanda yang masih menggunakan kejahatan sebagai alat balas dendam.

Pada tataran formal, khususnya dalam penerapan hukum, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan masih berorientasi pada penerapan sanksi pidana.

Padahal, hukum pidana sebenarnya menganut asas final redress, artinya aturan atau norma hukum bidang lain seperti hukum tata negara dan hukum administrasi publik harus diselesaikan melalui sanksi administratif.

Baca juga: Kriminalisasi Guru: Hukum Pidana Bukan Lagi Pilihan Terakhir

Demikian pula, peraturan hukum perdata harus diselesaikan dengan hukuman perdata sebagai prioritas.

Namun apabila sanksi administratif dan sanksi perdata dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan menciptakan ketertiban dan penyelesaian permasalahan dalam masyarakat, maka sanksi pidana dapat dijadikan senjata (terakhir).

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *