TAHUN INI 2024, Reformasi telah berlangsung selama 26 tahun. Seperempat abad lebih mungkin menjadi momen bagi bangsa ini untuk setidaknya mengapresiasi dan kemudian melakukan lompatan signifikan.
Lompatan tersebut harusnya mempersiapkan kita menyambut Indonesia Emas 2045.
Indonesia yang kita bayangkan pada momen 100 tahun kemerdekaan akan menjadi negara yang kaya dan sejahtera. Kemiskinan dan pengangguran bisa diminimalisir.
Pemberi pinjaman pendidikan untuk seluruh anak Indonesia dan kelas menengah yang terus berkembang.
Untuk mencapainya, kita tidak hanya membutuhkan perekonomian, tetapi juga stabilitas politik, terutama sistem politik yang beradaptasi dengan tantangan zaman (selalu berubah).
Mungkin kita pernah melihat bahwa sejak tahun 1998 hingga lima tahun lalu, elemen utama demokrasi adalah kebebasan.
Namun fakta menunjukkan bahwa hal tersebut saja tidak cukup untuk menjadi negara maju. Agar selaras dengan tujuan pembangunan, diperlukan ketertiban dan sistem politik yang kuat.
Seperti yang disampaikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto beberapa waktu lalu, demokrasi di Indonesia “tidak mudah” dan melelahkan.
Inti dari pernyataan tersebut adalah ada permasalahan dalam demokrasi Indonesia yang perlu kita atasi.
Sebelumnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berpendapat serupa, bahwa demokrasi saat ini memiliki biaya yang tinggi, yakni mahal.
Ajakan dari kedua pemimpin ini setidaknya cukup memberi kita keberanian untuk mengubah cara pandang kita.
Ditambah lagi dengan penekanan Mahkamah Konstitusi (CJC) terhadap proses sengketa pemilu presiden baru-baru ini – baik mengenai keputusan maupun perbedaan pendapat (dissenting opinion) – yang keduanya menekankan bahwa Republik Kongo dan pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengubah aturan mainnya.
Dengan dinamika kabinet baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, mungkin bisa dioptimalkan untuk mempertimbangkan konsolidasi dan konsolidasi politik ke depan.
Alasannya – berdasarkan pengalaman masa lalu – ketika MPR berencana mengubah UUD 1945 menjelang pemilu 2024, banyak pihak yang menolak. Sebab mereka menduga ada kepentingan lain selain penguatan sistem politik. Apakah pemilu serentak masih relevan?
Asumsi ini tidak dapat sepenuhnya diatribusikan karena waktunya tidak tepat. Sebaliknya, di awal kekuasaan – di luar pemilu – di awal pergantian kekuasaan, atau mungkin jika UU Politik direvisi, maka tuduhan-tuduhan tersebut bisa dihindari.