DAMASCUS, sp-globalindo.co.id – Pemimpin de facto Suriah, Ahmad al-Shara, mengatakan negaranya lelah dengan perang dan tidak menimbulkan ancaman bagi negara tetangganya atau Barat.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC di ibu kota Suriah, Damaskus, ia memerintahkan pencabutan sanksi ekonomi terhadap Suriah.
“Sekarang, setelah semua yang terjadi, sanksi harus dicabut karena menyasar rezim lama. Korban dan penindas tidak boleh diperlakukan sama,” katanya seperti dikutip BBC.
Baca Juga: PBB Peringatkan Perang Suriah Belum Berakhir Pasca Jatuhnya Assad, Ini Alasannya
Shara memimpin serangan kilat yang menggulingkan rezim Bashar al-Assad dua minggu lalu. Serangan itu dilakukan oleh koalisi pemberontak. Dia adalah pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok dominan dalam koalisi pemberontak. Shara sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Muhammad al-Jolani.
Ia mengatakan HDSI harus dikeluarkan dari daftar organisasi teroris. Kelompok ini telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Turki, dan banyak negara lainnya karena kelompok tersebut berasal dari cabang al-Qaeda yang kemudian memisahkan diri. . . 1998. Pada tahun 2016.
Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini berusaha menjadikan citranya lebih moderat.
Shara mengatakan HDS bukanlah kelompok teroris. Ia menyatakan, kelompoknya tidak menyasar warga sipil atau wilayah sipil. Faktanya mereka melihat diri mereka sebagai korban kejahatan rezim Assad.
Dia membantah ingin mengubah Suriah menjadi Afghanistan. Shara mengatakan, kedua negara itu berbeda dan mempunyai tradisi yang berbeda. Afghanistan adalah masyarakat kesukuan. Dia mengatakan masyarakat Suriah memiliki mentalitas yang berbeda.
Ia mengaku percaya akan pentingnya pendidikan bagi perempuan.
“Kami telah memiliki universitas di Idlib selama lebih dari delapan tahun,” kata Shara. Yang dia maksud adalah sebuah provinsi di barat laut Suriah yang berada di bawah kendali kelompok tersebut sejak tahun 2011.
“Saya kira persentase perempuan di universitas di atas 60 persen,” lanjutnya.
Ketika ditanya oleh BBC apakah meminum alkohol diperbolehkan, Shara berkata: “Saya tidak mempunyai kebebasan untuk membicarakan banyak hal karena itu adalah masalah hukum.”