Olahraga bukan sekadar “kontes mekanis” berupa permainan dan/atau pertarungan dalam arena kompetitif. Misalnya juga memiliki sisi hiburan dan rasa kepemilikan terhadap penontonnya.
Misalnya saat Timnas sepak bola Indonesia berlaga di Piala Asia, kami melihat betapa bersemangat dan antusiasnya kami – bahkan masyarakat yang belum familiar dengan sepak bola – untuk mendukung kami, menonton di lapangan dan di layar kaca dan berbagai media yang menyebarkannya.
Ketika menang, penonton seolah-olah berkeringat dan berlarian mengikuti pertandingan seperti halnya para pemain, sangat gembira dan merasa memiliki. Bahkan saat kalah, semua orang marah meski alasannya bukan sekadar “kompetisi mekanis”.
Hal serupa juga terjadi di lapangan bulu tangkis. Memang, saat Indonesia meraih medali emas panjat tebing di Olimpiade Paris 2024, semua orang sudah merasa familiar dengan olahraga abad ini.
Namun kegembiraan dan semangat dukungan bukan sekedar hiburan dan penghiburan.
Ada hal lain yang hanya sedikit orang ketahui. Olahraga juga merupakan salah satu bentuk politik dan diplomasi, terutama di tingkat regional dan internasional.
Misalnya, pemulihan identitas nasional rakyat Jerman setelah Perang Dunia Kedua (PD II) dan pengakuan kembali negara tersebut dalam hubungan internasional tidak dapat dicapai hanya dengan unjuk kekuatan dan/atau di meja perundingan. Permainan sebenarnya adalah pintu utama untuk dibuka.
Pada tahun 1954, tim Jerman Barat (saat itu Jerman masih terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur) kembali tampil di beberapa ajang olahraga untuk pertama kalinya.
Alhasil, ia mencatatkan dua prestasi olahraga spektakuler. Awalnya, tim Mercedes-Benz merebut dua tempat pertama di Grand Prix Prancis di Reims. Kedua, timnas Jerman Barat menjadi juara Kejuaraan Dunia di Swiss yang digelar di Bern.
Dua pencapaian monumental ini mengembalikan negara yang kalah perang ini ke puncak politik dan diplomasi internasional.
Orang-orang merasa bahwa dia telah mendapatkan kembali identitas nasionalnya dan dia diabadikan dalam film-film seperti Das Wunder von Bern atau “The Miracle of Bern” dalam versi bahasa Inggris.
Reaksi internasional cukup melegakan. Setelah dua kemenangan besar ini, rasa hormat muncul dengan sendirinya. Sejarah belum berakhir, namun penerimaan masih bisa muncul kembali.
Banyak cerita dan teori tentang pengertian permainan, tidak hanya sekedar teknik dan skill pemainnya, tersebar dari majalah hingga film. Lalu bagaimana dengan politik dan diplomasi Indonesia melalui ajang olahraga?
Meski tak se-monumental kisah Jerman, namun banyak prestasi olahraga Indonesia yang juga mendapat pengakuan publik, seperti kisah medali emas Olimpiade Paris 2024 di atas.
Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menyaksikan banyak perhelatan olahraga besar yang pernah diselenggarakan dan diikuti oleh Indonesia.