JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan peninjauan kembali Undang-Undang (RUU) Pemilu untuk dimasukkan dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2024-2029.
CEO Needem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan peninjauan tersebut dinilai perlu karena melihat kompleksitas dan kekurangan penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019 dan 2024.
“Pada pemilu 2019, setelah merujuk pada pemilu serentak pertama, ternyata kita mempunyai kompleksitas pemilu yang luar biasa. Dan kita akan menyelenggarakan lima pemilu serentak lagi pada pemilu 2024.”. Rapat Dengar Pendapat dengan Baleg DPR RI pada Rabu (30/10/2024).
Menurut dia, pemilu serentak pertama digelar untuk meningkatkan efisiensi sistem presidensial dan menjawab niat awal perubahan UUD 1945.
Baca juga: Penentangan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Namun pelaksanaan pemilu serentak tentu menimbulkan tantangan baru, salah satunya adalah tingginya angka surat suara tidak sah dalam proses pemilu.
“Pada pemilu 2019 terdapat sekitar 17 juta suara tidak sah dan pada pemilu 2024 terdapat sekitar 15 juta suara tidak sah,” kata Khoirunnisa.
Situasi ini terlihat akibat pemilih kesulitan menyesuaikan surat suara dengan rumitnya pemilu lima kotak.
“Tidak benar, ini surat suara tidak sah, jadi yang salah pilih, misalnya tidak cocok dengan kotak nama dan sebagainya, maka suaranya tidak sah,” kata Khuy Runnisa.
Sejauh ini, Khoy Runnisa mengatakan amandemen undang-undang pemilu telah menghentikan perdebatan mengenai sistem pemungutan suara terbuka atau tertutup, meski ada hal lain yang perlu mendapat perhatian.
Baca juga: Anggota CPP Ajukan Perubahan Isi UU Pemilu Terkait Tingkatan Pemilu Parlemen ke Mahkamah Konstitusi
Ia mencontohkan poin penting, integrasi undang-undang pemilu dan Philadelphia. Sebab, dalam Putusan Mahkamah 55 Tahun 2019 disebutkan tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada, sehingga keduanya bisa digabungkan menjadi satu teks hukum.
“Sederhananya, pemilu dan pemilu daerah bisa dikatakan memiliki unsur yang sama.” Baik warga Kamboja adalah pemilih yang sama, pesertanya adalah partai politik, jadi tidak ada lagi perbedaan. Di rezim,” kata Coron Nisa.
Makanya kami dorong agar UU Pemilu dan UU Pilkada bisa digabungkan menjadi sebuah teks atau undang-undang, ujarnya.
Pak Khov Runnisa menambahkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait Pemilu telah diadili Mahkamah Konstitusi sebanyak 134 kali sejak disahkan. Hal ini dinilai menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap ketentuan tersebut.
“Tentu saja tidak semuanya disediakan oleh MK. Namun kami menganggap banyak keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi cukup penting untuk mengubah desain pemilu kami,” tutupnya. mobile Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses Saluran WhatsApp sp-globalindo.co.id: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D Pastikan Anda telah menginstal WhatsApp.