Jatuhnya Bashar al-Assad pada akhir tahun 2024 mengguncang peta politik Timur Tengah. Setelah lebih dari dua dekade mengalami tirani, Assad terpaksa keluar dari Suriah karena tekanan dari pemberontak, keruntuhan ekonomi, dan melemahnya dukungan internasional.
Namun berakhirnya rezim Assad bukan berarti berakhirnya konflik. Sebaliknya, minimnya tenaga yang ditinggalkannya membuka peluang baru dan mengancam bahaya.
Dalam konteks ini, peran Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu hal terpenting yang menentukan arah Suriah di masa depan. Perdamaian di Suriah: Tantangan pasca-Assad
Menghancurkan rezim Assad tidak akan membawa stabilitas langsung ke Suriah. Sebaliknya, konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade justru meninggalkan negara ini dalam kehancuran, baik secara politik maupun ekonomi.
Kelompok ekstremis seperti ISIS dapat dengan mudah memanfaatkan listrik untuk membangun kembali kekuatan mereka.
Kekhawatiran ini lebih realistis jika mempertimbangkan senjata kimia lain yang sebelumnya dikuasai rezim Assad, kini berisiko jatuh ke tangan aktor non-pemerintah.
Dalam situasi ini, serangan yang dilancarkan Amerika Serikat dan Israel di beberapa tempat penting di Suriah merupakan tindakan defensif yang penting. Namun, langkah-langkah tersebut hanyalah solusi sementara.
Tanpa adanya lembaga yang independen dan stabil, Suriah mungkin menghadapi ancaman menjadi zona konflik berkepanjangan.
Tantangan ini diperparah dengan perpecahan antar kelompok pemberontak, khususnya Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang saat ini berkuasa, namun masih dipandang curiga oleh masyarakat internasional karena ekstremismenya.
Absennya Assad memberi Suriah peluang besar untuk memulai transisi politik menuju pemerintahan bersatu. Namun proses ini tidak akan mudah.
Perpecahan antar partai oposisi dan kurangnya pengalaman dalam membangun institusi demokrasi menjadi kendala utama.
Di sisi lain, dunia internasional ingin memastikan masa transisi ini berjalan damai dan tidak menimbulkan konflik baru.
Amerika Serikat, sebagai salah satu orang paling berpengaruh dalam politik dunia, menghadapi situasi sulit ketika menentukan sikapnya terhadap Suriah.
Di bawah pemerintahan yang baik seperti Donald Trump, Amerika Serikat pasti akan memprioritaskan stabilitas jangka pendek dibandingkan cita-cita demokrasi.
Membantu aktor-aktor lokal yang dianggap strategis, meski punya sejarah buruk, tidaklah mungkin.