Meningkatnya konflik antara Israel dan Palestina serta aksi militer Israel di Gaza, yang kemudian menyebar ke Lebanon, Suriah di satu sisi, dan mungkin bahkan Iran di sisi lain, bisa menjadi titik puncak visi Timur Tengah Baru. ).
Sejak perang 7 Oktober 2023 antara tentara Israel dan Hamas Palestina, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu gencar menghancurkan Gaza dengan operasi militer untuk menghancurkan kelompok Hamas.
Setelah setahun berperang, Israel mulai melakukan ekspansi ke wilayah lain, membom Lebanon Selatan, menargetkan kelompok Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrallah.
Agresivitas Benjamin Netanyahu menyerang Hizbullah di Lebanon Selatan lebih frontal dibandingkan sebelumnya, Perdana Menteri Ehud Olmert.
Rencana Ehud Olmert (2006) untuk melenyapkan Hizbullah gagal. Hari ini, Netanyahu mengebom pangkalan Hizbullah dan membunuh sekretaris jenderalnya, Hasan Nasrallah (28/9), sekutu penting Iran.
Dalam penyerangan Israel ke markas Hizbullah dan terbunuhnya Hasan Nasrallah, AS justru mendukungnya dengan memberikan senjata.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang dikutip oleh media mengatakan bahwa dunia akan lebih damai tanpa Hasan Nasrallah, yang ia anggap sebagai “teroris”.
Apakah meninggalnya Hasan Nasrallah berarti perdamaian di Timur Tengah? Faktanya, situasi di Timur Tengah semakin panas.
Pertempuran tampaknya semakin intensif, dengan serangan roket dan rudal Hizbullah yang menargetkan lebih banyak sasaran di wilayah Israel.
Iran nampaknya merasa berani dan menantang untuk melawan agresi Israel dengan menembakkan roket dan rudal ke Tel Aviv, khususnya situs pertahanan utama Israel (2/10/2024).
Faktanya, Iran mungkin semakin ambisius dalam mengembangkan program nuklirnya untuk melawan serangan Israel. Konsep “Timur Tengah Baru”.
Membaca kondisi kawasan saat ini ibarat memutar ulang memori konsep Timur Tengah Baru yang disampaikan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice (2005-2009) saat perang Israel-Hizbullah di Lebanon tahun 2006. .
Secara historis, konsep Timur Tengah Baru muncul setelah serangan 11 September 2001, ketika kebijakan luar negeri AS sangat dipengaruhi oleh upaya memerangi terorisme global.
Dalam konteks ini, Timur Tengah dianggap sebagai pusat ancaman hijau (Green Peril) yang dihadapi AS, seperti ekstremisme Islam, terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal.
Oleh karena itu, Timur Tengah Baru dalam perspektif Condoleezza Rice sedang melakukan restrukturisasi kawasan ini melalui perubahan politik dan demokrasi sebagai solusi jangka panjang terhadap ancaman tersebut.