Oleh Elizabeth Grenier/DW Indonesia
sp-globalindo.co.id – Kebanyakan orang di Jerman mengasosiasikan pesta Santo Nikolas, atau di Indonesia dikenal sebagai Sinterklas, dengan tradisi yang tidak berbahaya:
Misalnya, anak-anak meninggalkan sepatu mereka yang sudah dibersihkan di depan pintu depan pada malam tanggal 5 Desember, dan keesokan paginya mereka berharap sepatu mereka dipenuhi hadiah dan camilan kecil yang dibawakan oleh Santo Nikolas.
Namun, ada beberapa wilayah di Jerman, seperti Bavaria, di mana karakter mirip Sinterklas memiliki sahabat karib bernama Krampus.
Baca juga: 6 Desember Hari Saint Nicholas alias Sinterklas
Setan berbulu memiliki nama yang berbeda-beda tergantung wilayahnya dan merupakan bagian dari festival rakyat dengan kostum dan prosesi yang menakutkan.
Ada juga Festival Klaasohm, sebuah tradisi tahunan merayakan Santo Nikolas pada malam tanggal 5 Desember di pulau Borkum di Laut Utara Jerman, yang berpenduduk lebih dari 5.000 jiwa.
Festival ini menjadi sorotan di Jerman setelah ditayangkannya laporan video oleh perusahaan publik NDR.
Dalam ceritanya, dua orang wartawan mencoba merekam liburan tahun 2023.
Dengan menggunakan ponsel, mereka dengan mudah merekam perayaan hari itu ketika orang-orang berkumpul di sekitar pria muda yang belum menikah yang mengenakan kostum tradisional Klaasohm, topeng kulit domba, dan bulu burung.
Kemudian Klaasohm dari berbagai usia saling menantang dalam semacam pertandingan gulat. Acara ini diperuntukkan bagi penduduk pulau, jadi sebenarnya turis atau reporter tidak diperbolehkan menontonnya.
Pesta berlanjut hingga malam hari. Para wartawan secara diam-diam memfilmkan kelompok-kelompok yang disebut “penculik” mengejar para perempuan, menahan mereka sementara Klaasom memukul pantat mereka dengan tanduk sapi. Orang-orang di sekitar mereka, termasuk anak-anak, bersorak untuk wanita yang dipukul tersebut.
Baca Juga: Perbedaan Sinterklas dan Sinterklas, Kesaksian Serupa Tapi Tak Sama Anonim Karena Takut Dampaknya
Laporan NDR mencakup wawancara anonim dengan tiga perempuan dan seorang mantan laki-laki penduduk pulau yang ikut serta dalam ritual tersebut dan kini mengecamnya.
Para perempuan tersebut menjelaskan bahwa saat masih anak-anak, mereka dibesarkan dengan keyakinan bahwa permainan petak umpet adalah permainan petak umpet yang mengasyikkan dan merupakan bagian dari identitas umum penduduk pulau.
Oleh karena itu, mereka dengan sukarela mengikuti ritual tersebut saat remaja, namun ternyata menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan.
Bahkan pemuda yang meninggalkan Borkum itu masih merasa dan tidak bisa memperlihatkan wajahnya di depan kamera. Dia khawatir kritik apa pun terhadap ritual tersebut dapat berdampak negatif bagi keluarganya.