HILIRIZASI belakangan ini menjadi salah satu topik yang diperbincangkan masyarakat. Secara umum, hilir mengacu pada proses pemurnian bahan tambang untuk menambah nilai produk. Salah satu produk strategis yang saat ini diprioritaskan adalah nikel – produk yang banyak terdapat di Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sultra) dan Maluku Utara.
Proses hilirisasi nikel dinilai penting, tidak hanya untuk menciptakan nilai tambah tetapi juga sebagai langkah menuju industrialisasi. Hal ini sesuai dengan kewenangan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan perlu dilakukan proses lebih lanjut demi kesejahteraan rakyat yang lebih luas.
Namun, proses hilir juga menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi biaya, peraturan, dan dampak lingkungan.
Pada awal tahun 2000-an, tingginya permintaan nikel dari Tiongkok dengan harga yang menarik mendorong Indonesia untuk mengekspor bijih nikel, bahkan mengirimkannya dengan pasir.
Proses ini tidak hanya bersifat ekonomis karena kurangnya nilai tambah, namun juga berdampak buruk terhadap lingkungan.
Baca juga: Mendefinisikan Ulang Rencana Hilirisasi Nasional
Oleh karena itu, kapal-kapal pengangkut nikel asal China kerap terlihat berlabuh di perairan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Aktivitas yang tidak terkendali ini menyebabkan kerusakan lingkungan. Pesisirnya juga penuh dengan lubang-lubang penambangan tua. Tak hanya itu, pantai-pantai tersebut juga tercemar limbah bijih nikel.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan dan batubara (Minerba). Peraturan tersebut memberikan batas waktu lima tahun bagi nikel untuk tidak lagi diekspor mentah melainkan melalui proses pemurnian sehingga menghasilkan nikel matte (feronikel) dan besi nikel (NPI). Peluang dan tantangan dalam proses industri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada acara peresmian pabrik anoda baterai lithium PT Indonesia BTR di Kendal, Jawa Tengah (Jateng), Rabu (7/8/2024), mengatakan nilai penjualan nikel dari hilir sungai sebesar Indonesia naik pesat. hingga Rp 510 triliun setelah Pemerintah menghentikan ekspor bahan baku bijih nikel.
Presiden Jokowi mengungkapkan, kebijakan penghentian penjualan nikel mentah pada tahun 2020 ditentang banyak pihak, termasuk Uni Eropa.
Beberapa industri produksi bahan baku sudah beroperasi, yakni smelter nikel dan produk ikutannya di Morowali, Sulawesi Tengah, serta smelter di Teluk Weda di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Selain itu, terdapat pabrik metalurgi yang memproduksi bahan baku baterai mobil listrik yang akan mulai beroperasi.
Baca juga: Jokowi Minta Intinya Tetap Tenaga Kerja, Kopi dan Kakao Jangan Diekspor Mentah
Hilirisasi merupakan langkah strategis bagi Indonesia dalam upaya menghindari ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan bergerak menuju industrialisasi. Konsep tersebut dinilai positif terutama untuk memajukan industri dan memberikan nilai tambah bagi negara.
Namun implementasi hilirisasi di sektor ini menghadapi banyak tantangan yang tidak bisa diabaikan, mulai dari menjaga keseimbangan antara biaya dan manfaat, hingga memastikan hilirisasi tidak berhenti pada tahap awal.
Asal tahu saja, saat ini Indonesia sudah mencapai seperempat jalan menuju perampingan. Tujuannya adalah untuk mencapai tahap industrialisasi penuh dimana produk akhir dibutuhkan di pasar domestik dan internasional.
Tanpa permintaan terhadap produk akhir ini, posisi terdepan dalam industri ini akan tetap kosong, sehingga meninggalkan kesenjangan yang tidak terisi. Oleh karena itu, meski proses hilirisasi sudah berjalan, namun masih diperlukan upaya lebih untuk melanjutkan ke langkah selanjutnya.
Baru-baru ini, Indonesia kalah dari Uni Eropa dalam perselisihan larangan ekspor nikel di Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WHO). Meski demikian, Indonesia masih mempunyai opsi untuk mengajukan banding atau menerapkan kebijakan alternatif.
Baca juga: Jokowi Sebut Pemerintahan Prabowo Terus Terpuruk, Bekerja di Sektor Pertanian, Penanaman Pohon, dan Kelautan