Untuk kedua kalinya dalam sejarah politik AS, seorang mantan presiden terpilih kembali menjadi presiden setelah kalah dalam pemilu untuk masa jabatan kedua.
Kemenangan Donald Trump pada pemilu presiden 2024 memang belum diumumkan secara resmi, namun hasil penghitungan cepat ini tampaknya bersifat “menentukan”, dan kecil kemungkinan Kamala Harris bisa membalikkan keadaan.
Oleh karena itu, Donald John Trump menciptakan sejarah baru dalam politik Amerika Serikat di satu sisi, dan di sisi lain sebagai mantan presiden yang sangat ambisius untuk kembali ke medan persaingan setelah kalah dari Joe Biden pada pemilu 2020. tangan
Meskipun pesaing partisan bermunculan, masyarakat Amerika cukup mengetahui bahwa Trump sebenarnya adalah kandidat terkuat untuk kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Republik.
Kemenangan Trump malam ini, dalam konteks persaingan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kemenangannya pada pemilu 2016.
Trump memanfaatkan sejarah Amerika yang hingga saat ini belum bisa menerima kepemimpinan perempuan di Gedung Putih.
Pada tahun 2016, kandidat Partai Demokrat Hillary Rodham Clinton memenangkan “suara populer” dengan selisih sekitar 3 juta suara.
Karena Hillary berkulit putih, hal ini dapat dimengerti. Meski kemenangannya dalam pemilu tidak membuat Hillary tetap berada di level Electoral College.
Nah, kali ini Trump kembali berhadapan dengan kandidat perempuan dan kemenangan meyakinkan ada di tangan Trump.
Tentu saja faktor pertama, menurut saya, masih sama, yaitu pemilih Amerika masih kesulitan menerima perempuan sebagai pemimpin di Gedung Putih.
Namun ada faktor kedua yang membuat Trump jauh lebih baik dibandingkan tahun 2016, yaitu Harris bukanlah perempuan kulit putih seperti Hillary Clinton.
Hillary, perempuan berkulit putih, istri mantan presiden Amerika Bill Clinton, dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis di pemerintahan Obama, yakni sebagai Menteri Luar Negeri (Menteri Luar Negeri), bisa memahami kemenangan rakyat. dalam pemungutan suara. di satu sisi, dan kekalahannya di Elektroal College juga sangat bisa dimaklumi.
Namun, ketika harus menerima kandidat perempuan non-kulit putih, pemilih Amerika tampaknya menghadapi dilema yang sangat pelik tahun ini.
Barangkali publik Amerika hampir berani mendobrak tradisi patriarki dalam institusi kepresidenan Amerika, lewat kemenangan Hillary Clinton dalam pemilu.
Namun jika tradisi ini sangat terganggu dengan penempatan perempuan non-kulit putih, nampaknya publik Amerika belum siap.