Ketika Prabowo Subianto naik ke panggung untuk pertama kalinya sebagai presiden Indonesia berikutnya, ia menyatakan visinya yang berapi-api untuk Indonesia yang “lebih mandiri dan berdaulat”.
Namun pertanyaan besar yang ada di benak banyak pengamat dan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu adalah apakah pembentukan kabinet barunya akan menandai babak baru dalam pemerintahan atau sekadar pengulangan status quo. Untuk waktu yang lama?
Pemilihan kabinet yang dipilih oleh Prabowo tidak dapat dipisahkan dari dinamika dan tekanan politik yang kuat. Isu pertama yang mengemuka adalah pembentukan kabinet.
Kebocoran awal menunjukkan bahwa banyak pejabat senior yang pernah menjabat di pemerintahan sebelumnya kembali mengisi posisi-posisi penting.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa inovasi dan perubahan yang dijanjikan selama kampanye mungkin hanya sekedar retorika.
Di sisi lain, Prabowo mulai menunjukkan tanda-tanda akan mendatangkan tokoh-tokoh baru dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi hingga pengusaha, yang diharapkan dapat membawa angin segar dalam cara pemerintah menangani permasalahan ekonomi, politik, dan sosial.
Kehadiran mereka diharapkan dapat mendorong penerapan kebijakan progresif termasuk perbaikan infrastruktur digital, diversifikasi perekonomian melalui hilirisasi, dan peningkatan pelayanan publik.
Namun peralihan kekuasaan selalu diwarnai dengan perlawanan yang mengakar dari berbagai kelompok kepentingan.
Dalam konteks Indonesia, hal ini sering kali berarti pergulatan internal antara keinginan untuk mempertahankan kebijakan yang ada dan kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi yang lebih besar.
Dengan perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih dan Indonesia masih berjuang mengatasi permasalahan dalam negeri termasuk kesenjangan sosial dan korupsi, tekanan terhadap Prabo untuk memenuhi harapan akan sangat besar.
Penting juga untuk mempertimbangkan bagaimana Prabo akan menghadapi tantangan geopolitik yang semakin kompleks.
Ketika Indonesia kini lebih fokus pada penguatan kapasitas lokal dan mengurangi ketergantungan impor, bagaimana kabinetnya akan meningkatkan posisi Indonesia di Asia Tenggara?
Akankah kita memperkuat hubungan kita dengan negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok, atau mencari keseimbangan baru dengan negara-negara tetangga?
Indikator penting lainnya adalah kinerja keuangan kepemimpinan Prabo pada kuartal pertama. Akankah kabinetnya mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan inflasi dan tantangan global lainnya?
Dapatkah kita menerapkan reformasi yang tidak hanya menjanjikan stabilitas, namun juga keadilan sosial yang lebih besar?