sp-globalindo.co.id – Di era digital yang terus berkembang, proses teknologi informasi (TI) menjadi kunci untuk memastikan penggunaan teknologi yang aman dan berkelanjutan.
Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada tahun 2014 hingga 2024, banyak peraturan yang diterbitkan di bidang TI, untuk memperkuat ekosistem teknologi dalam negeri.
Beberapa peraturan yang diadopsi atau direvisi dalam dekade terakhir mencakup sektor-sektor penting, seperti perlindungan data, keamanan siber, dan ekonomi digital.
Kebijakan ini tidak hanya efektif melindungi masyarakat, tetapi juga menciptakan peluang besar bagi berkembangnya startup, fintech, dan e-commerce di Indonesia. Ini pratinjaunya.
Baca juga: Jokowi Khawatir Indonesia Hanya Punya 2 dari 320 Pemasok Produk Apple 1. Review Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dirancang untuk mengatur aktivitas di ruang digital, seperti komunikasi dan transaksi elektronik, untuk melindungi pengguna dari aktivitas online.
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, UU ITE mengalami dua kali revisi. Revisi pertama yang diterima pada tanggal 27 Oktober 2016, menghasilkan beberapa revisi penting.
Bagian 27.1 dan 27.3. Pasal ini melarang penyebaran, transmisi atau penyediaan di luar informasi elektronik yang bersifat memfitnah atau mencemarkan nama baik.
Termasuk pengurangan ancaman hukuman kasus korupsi dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara, serta pengurangan denda dari Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
Ulasan ini memberikan informasi yang jelas untuk menghindari multitafsir dan menegaskan bahwa tindak pidana dalam pasal ini merupakan tindak pidana emosional, artinya proses hukum hanya dapat dimulai jika ada laporan dari korban, bukan dosa umum.
Lebih lanjut, Pasal 28 ayat 2 mengatur larangan penyebaran berita atau informasi palsu yang dapat menimbulkan kebencian atau konflik antar individu atau kelompok.
Kemudian Pasal 31 ayat (3) menguraikan tentang aturan penyadapan terhadap informasi elektronik yang telah diketahui sebelumnya, dan memberikan panduan tegas mengenai aturan penyadapan agar tidak digunakan.
Selain itu, konsep Hak untuk Dilupakan, yang memungkinkan individu untuk meminta penghapusan konten digital yang tidak lagi berguna atau berbahaya.
Meskipun memberikan kontrol lebih besar terhadap jejak digital, terdapat kritik bahwa penerapannya terbatas pada mesin pencari, bukan seluruh Internet.
Baca juga: Cara Menghapus Jejak Digital di Hasil Pencarian Google dan Pelajari Hak untuk Dilupakan
Revisi kedua UU ITE banyak memuat perubahan dan penambahan pasal untuk memperkuat hukum di dunia digital dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik.
Perubahan penting adalah peraturan identifikasi digital dalam sertifikat elektronik (Pasal 13 (a)), yang bertujuan untuk memperkuat anti-identitas di Internet.
Revisi ini juga menambahkan perlindungan terhadap anak dalam sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan 16 (b)), serta mengatur perjanjian elektronik internasional (Pasal 18 (a)) untuk memfasilitasi transaksi lintas batas.
Peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem digital yang adil, aman, dan inovatif ditekankan dalam Pasal 40 (a).
Total terdapat 14 pasal eksisting yang direvisi dan ditambah 5 pasal baru, antara lain ketentuan terkait alat bukti elektronik (Bab 5), sertifikasi elektronik (Bab 13), transaksi elektronik (Bab 17), dan larangan baru meliputi Pasal 27, 28, dan Pasal 28. 29.
Selain itu, terdapat perubahan kewenangan penyidikan pejabat (Pasal 43) dan ketentuan hukuman baru (Pasal 45, 45 a, dan 45 b).
Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum di dunia digital dan melindungi hak-hak individu, dengan fokus melindungi privasi dan keamanan digital.
Pemerintah berupaya menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan hak asasi manusia dan ketertiban umum dalam demokrasi digital.