SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Global

Benarkah Amerika Serikat Belum Siap Dipimpin Perempuan?

DOKTER Yannus T. H. Siahan, dalam tulisannya di media ini bertajuk “Kemenangan Donald Trump dan Pandangan Geopolitik Global”, menyebutkan Amerika Serikat sepertinya belum siap dipimpin oleh perempuan.

Berdasarkan argumen tersebut, saya tertarik untuk menyelidiki lebih jauh apakah hal tersebut benar adanya? Sejarah dan hambatan struktural

Pasca kemenangan Donald Trump, Gedung Putih, simbol kekuasaan tertinggi di Amerika Serikat, tetap menjadi benteng terakhir yang tidak bisa ditembus oleh kepemimpinan perempuan.

Fakta ini menjadi lebih menarik mengingat Amerika Serikat sering kali memposisikan dirinya sebagai mercusuar demokrasi global.

Kenyataan ini bukan sekedar kebetulan, melainkan mencerminkan kompleksitas sistem politik dan sosial Amerika yang telah mendarah daging selama ratusan tahun.

Meskipun Amerika telah mengalami berbagai transformasi sosial, termasuk gerakan hak-hak sipil dan feminisme, jabatan presiden masih merupakan bidang yang sulit bagi kandidat perempuan.

Sejarah partisipasi perempuan dalam politik Amerika sebenarnya sudah dimulai sejak lama, dengan tonggak sejarah pada tahun 1872, ketika Victoria Woodhull mencalonkan diri sebagai presiden.

Keputusan berani ini dibuat sebelum perempuan Amerika memperoleh hak memilih secara nasional pada tahun 1920.

Woodhull, meski gagal, membuka jalan bagi generasi perempuan penerus yang bermimpi menduduki posisi tertinggi di negeri Paman Sam.

Perjuangan ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lain seperti Shirley Chisholm, perempuan kulit hitam pertama yang mencalonkan diri sebagai partai besar pada tahun 1972, sehingga menciptakan momentum penting dalam sejarah politik Amerika.

Hambatan struktural dalam sistem politik Amerika merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kandidat perempuan.

Sistem Electoral College, yang berbeda dengan penghitungan suara terbanyak, menciptakan dinamika unik yang seringkali merugikan kandidat perempuan.

Hal ini terbukti pada pemilu presiden tahun 2016, ketika Hillary Clinton menang dengan selisih hampir tiga juta suara namun kalah dari Donald Trump di Electoral College.

Sistem ini mencerminkan kompleksitas demokrasi Amerika, yang tidak selalu sesuai dengan prinsip satu orang, satu suara dan seringkali memberi bobot lebih pada negara-negara yang cenderung berpandangan sosio-politik konservatif.

Faktor budaya dan stereotip gender kemungkinan besar masih memainkan peran penting dalam politik Amerika.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *