sp-globalindo.co.id – Pada tahun 2022, Indonesia memiliki jumlah kasus tuberkulosis (TB) tertinggi kedua di dunia setelah India. Diperlukan upaya bersama untuk memutus rantai penularan penyakit ini.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar seperempat penduduk dunia pernah terpapar dan terinfeksi kuman TBC selama hidupnya, namun mereka tidak jatuh sakit karena daya tahan tubuh mereka cukup baik.
Mikroba tuberkulosis tetap berada di dalam tubuh kelompok orang ini dalam keadaan tidak aktif atau dorman.
Menurut ahli paru Raden Rara Diya Khandayani, 10 hingga 15 persen penderita TBC laten diperkirakan akan terkena TBC atau TBC aktif, terutama jika kekebalannya terganggu.
“Orang dengan imunitas yang baik perlu melakukan tindakan preventif untuk mencegah reaktivasi TBC,” kata dokter RSPI Bintaro.
Kelompok penderita penurunan imunitas adalah penderita infeksi HIV yang tidak diobati, diabetes yang tidak terkontrol, gizi buruk, perokok, anak di bawah 5 tahun, dan peminum alkohol.
Baca juga: Cari Tahu Apa Itu TBC, Gejala dan Cara Penularannya
Untuk memutus rantai penularan, WHO merekomendasikan agar orang yang terinfeksi atau mengidap TBC laten mendapatkan terapi pencegahan TBC (PTT) berupa beberapa obat, seperti rifampintin dan isoniazid, selama 3 bulan, atau 1 bulan penuh, atau 6 bulan. INH atau INH rifampisin 3 bulan.
Selain pencegahan dengan TPT, vaksinasi juga sangat penting.
“Tidak kalah pentingnya adalah aktif menjaga kesehatan dengan memenuhi kebutuhan gizi, berhenti merokok, istirahat yang cukup, dan mengendalikan penyakit penyerta terutama diabetes dan HIV dengan pengobatan yang memadai, serta rutin berolahraga,” kata dr Rara.
Obat untuk meningkatkan kekebalan tubuh
Peresepan obat penguat sistem kekebalan tubuh (imunomodulator) pada penderita tuberkulosis sangat berguna dalam memperbaiki gambaran klinis penyakitnya.
Beberapa ahli melakukan uji klinis imunomodulator dari tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri) pada penderita tuberkulosis paru.
Baca juga: Kemenkes Tegaskan Indonesia Serius Berantas TBC
Menurut apoteker molekuler Profesor Raymond Thiandravinata, parameter efektivitas dapat dilihat dari perbaikan klinis (konversi BTA dahak) serta perbaikan radiologis (rontgen dada).
Uji klinis penggunaan imunomodulator yang dikombinasikan dengan obat antituberkulosis standar pada pasien tuberkulosis paru dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya menerima obat antituberkulosis standar.
“Secara statistik menunjukkan tren Stimuno yang lebih baik dan mempunyai dampak klinis yang besar, yaitu pasien dengan konversi BTA pada sputumnya tidak akan menjadi sumber penularan tuberkulosis paru ke lingkungannya,” kata Profesor Raymond.
Dengarkan berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp sp-globalindo.co.id: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal WhatsApp.