JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Di era reformasi, perpecahan TNI-Polri menjadi simbol berakhirnya dwifungsi aparat keamanan, dengan besarnya harapan Polri memainkan perannya secara profesional, jauh dari politik praktis. , seperti pada masa Orde Baru.
Namun, kondisi saat ini justru ironis. Menurut mereka, Polri semakin dikaitkan dengan kepentingan politik.
Mengapa institusi yang terlibat dalam dinamika politik praktis sering disalahkan sebagai pihak yang melakukan penegakan hukum?
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan peran politik Polri tidak lepas dari kedekatannya dengan politisi.
Ia menilai lemahnya sistem kontrol negara dan lemahnya kontrol legislatif membuat politisi tidak bisa menggunakan Polri sebagai alat kekuasaan.
Baca juga
“Polri bukan sekedar alat keamanan. Kisah asmara politisi tersebut dengan Polri lah yang mendorongnya terjun ke politik praktis: “Penempatan personel aktif di lembaga pemerintah di luar struktur kepolisian merupakan instrumen hegemoni kekuasaan,” kata Bambang saat dihubungi sp-globalindo.co.id. Minggu (1/12/2024).
Situasi ini sangat berbahaya. Sebagai lembaga penegak hukum, Polri mempunyai kewenangan strategis untuk menindas pihak-pihak yang dianggap musuh politik.
Dengan fasilitas yang tersebar di seluruh pelosok negeri dan jumlah staf hingga 450.000 orang beserta keluarganya, Polri merupakan kekuatan yang sulit diabaikan dalam dinamika politik Indonesia.
Siapa pun dan partai politik mana yang berkuasa menggunakan polisi sebagai alat politik, kata Bambang.
Kekhawatiran politisasi Polri pada Pilkada Serentak 2024 menjadi sorotan. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Cristiano pada Rabu, 27 November 2024 menyebut istilah Partai Coklat yang diyakini merujuk pada Polri.
Baca juga: Potensi politisasi Polri sudah diprediksi sejak lama
Menurut Hasto, gerakan Partai Coklat (Parkok) merupakan ancaman terselubung terhadap proses pemilu. Ia meminta seluruh kader partai mengantisipasi penggunaan kekerasan untuk kepentingan politik.
“Di Jatim relatif menguntungkan. Tapi kita masih mewaspadai gerakan Partai Coklat, seperti di Sumut,” kata Hasto di kediaman Megawat, Soekarnoputri.
Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menolak isu tersebut. Dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat, 29 November 2024, dia menegaskan tudingan tersebut tidak berdasar.
“Apa yang dikatakan segelintir orang tentang taman itu tidak masuk akal,” katanya.
Namun, hasil pemungutan suara di parlemen tidak sepenuhnya menggembirakan, dan berita bahwa seorang anggota Dewan Kehormatan (MKD) DRC telah dibawa ke pengadilan atas masalah ini semakin memicu perdebatan.
Baca juga: Bicara Polri Tak Lagi Dipimpin Presiden Kemungkinan Akan Picu Oposisi