Pada 20 November 2024, DPR telah menyelesaikan pemilihan pimpinan KPK dan dewan pengawas KPK (2024-2029).
Komisioner Utama (Pol/Purn) Setyo Budianto terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2024-2029), Fitroh Rohcahyanto (Jaksa) Wakil Ketua (Jaksa) Johannes Tanak (Jaksa/Ketua KPK ), (BPK). ), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim).
Pada koleksi terakhir, nama-nama perwakilan masyarakat sipil tidak ada. Banyak nama masyarakat sipil seperti Alamsyah Saragih, Poengki Indarti, dan Idha Budhiati yang kurang mendapat dukungan dari anggota Komite III DPR.
Baik pimpinan KPK maupun dewan pengawas KPK didominasi oleh aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, dan auditor BPK.
Tantangan kepemimpinan baru KPK tidaklah mudah. Selain memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah dan memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang turun hingga 34 poin, kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menghadapi tantangan struktural kelembagaan dan lanskap politik yang sangat beragam.
Jon ST Quah (2011) Pemberantasan Korupsi di Negara Asia: Mimpi yang Mustahil? di dalam buku Laporan ini mengkaji praktik dan strategi pemberantasan korupsi di Asia.
Hong Kong, India, india, Jepang, Mongolia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand adalah sepuluh negara yang dicakup dalam penelitian Kwa.
Dari penelitiannya, Kwa menyimpulkan tiga kunci keberhasilan agenda antikorupsi.
Pertama, kemauan politik dan kepemimpinan. Kedua, adanya organisasi anti korupsi yang independen. Ketiga, hukuman berat bagi pelanggar korupsi.
Ketiga faktor inilah yang menentukan keberhasilan pemerintah dalam memberantas korupsi atau sebaliknya kegagalan dalam memberantas korupsi.
Michael Johnston (2013) juga menekankan isu kepemimpinan politik dalam pemberantasan korupsi. Memberantas korupsi berarti memerangi kekuasaan yang korup dan tidak bermoral.
Akuntabilitas dan transparansi bukanlah pemberian cuma-cuma dari seorang penguasa yang baik, namun merupakan hasil perlawanan tanpa henti terhadap otoritas. Kepemimpinan politik merupakan faktor penting dalam agenda reformasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi.
Peralihan Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo Subianto memberikan harapan baru. Retorika Presiden Prabowo mengenai agenda pemberantasan korupsi memberikan angin segar.
Presiden Prabowo memperingatkan kabinet Merah Putih bahwa ia akan membawa koruptor ke Antartika untuk tidak mengambil uang dari ABPN, dan menyerukan pengusiran anggota kabinet jika tidak memenuhi komitmen Presiden Prabowo untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Komitmen serius Presiden Prabowo.
Konsistensi pembicaraan Prabowo dengan dukungan sebagian besar kekuatan politik di DPR tidak boleh berujung pada kisruh politik.
Persoalannya adalah bagaimana retorika politik Presiden Prabowo diterjemahkan ke dalam tindakan politik yang berada di bawah kekuasaannya. Promosi mulut ke mulut saja tidak cukup untuk memberantas korupsi.
Tidak adanya RUU Perampasan Aset di Majelis Nasional tahun 2025 memberikan pesan bahwa jalan pemberantasan korupsi tidaklah mudah. Selalu ada kendala.
Kegagalan memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Undang-undang Nasional memberikan pesan bahwa undang-undang tersebut adalah kepentingan penguasa dan bukan kepentingan masyarakat. Ini tantangan pertama Presiden Prabowo Subianto.
Seperti yang dikatakan Kua, Singapura dan Hong Kong menggunakan lembaga antikorupsi yang independen dan kuat untuk memerangi korupsi. Pendekatan ini lebih efektif karena fokus dan koordinasi lebih baik.
Ini adalah model agensi tunggal yang disarankan oleh Qua. Indonesia juga mengikuti jejak ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi wewenang untuk bertindak sebagai regulator anti-korupsi. Namun agresivitas KPK dalam pemberantasan korupsi menuai penolakan dari elite politik Senayan.
Serangan politik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi oleh politisi Sena digagalkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Presiden Jokowi tidak mampu menghentikan gempuran politik DPR pada tahun 2019 di penghujung pemerintahan pertamanya.