FENOMENA ketidakhadiran pada Pilkada Jakarta 2024 menjadi hal yang sangat memprihatinkan setelah hasilnya menunjukkan angka ketidakhadiran tertinggi di Pulau Jawa.
Seperti diberitakan sp-globalindo.co.id dua hari pasca pemilu, banyak warganet yang memberikan alasan berbeda atas rendahnya partisipasi pemilih.
Baca juga: Angka Absen Tertinggi di Pilkada Jakarta Jawa, Warga Tunjukkan Alasan Berbeda…
Tingginya tingkat ketidakhadiran menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap para pemimpin yang dapat mewakili permasalahan besar dalam sistem demokrasi kita yang kompleks, termasuk sosial, ekonomi dan teknologi informasi.
Padahal, teknologi seharusnya menjadi alat untuk mendorong partisipasi dalam politik publik. Namun kenyataannya pemilu dan kampanye politik pada umumnya bersifat paradoks.
Paradoks pilihan pertama kali diperkenalkan oleh Barry Schwartz, seorang psikolog dan profesor di Swarthmore College.
Dalam bukunya “The Paradox of Choice: Why More is Less,” Schwartz menjelaskan bahwa meskipun lebih banyak pilihan sering kali dipandang sebagai hal yang baik, pada kenyataannya, terlalu banyak pilihan dapat merugikan seseorang, khawatir dan tidak bahagia dengan keputusannya. bekerja. .
Konsep ini awalnya digunakan untuk menggambarkan perilaku pelanggan. Namun seiring berjalannya waktu, konsep ini digunakan untuk menjelaskan keberagaman di bidang lain, termasuk politik.
Komentar sebagian warganet yang menganggap pemilu “sia-sia” karena tidak ada perubahan setelahnya menunjukkan kekecewaan yang besar.
Pemimpin yang tetap menjabat selama kampanye, namun setelah terpilih, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Selain itu, dalam menghadapi wacana di media sosial yang sering mengkritik pemimpin tanpa menawarkan solusi konkrit, masyarakat semakin skeptis.
Di tengah derasnya arus teknologi yang membanjiri ruang publik, ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin begitu tinggi.
Masyarakat menginginkan informasi, komunikasi yang terus menerus dan bukti nyata dari kerja para pemimpinnya.
Namun, ketika harapan tidak terpenuhi, teknologi menjadi alat untuk meningkatkan korupsi sehingga menimbulkan ketidakpastian yang mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih.
Meskipun teknologi informasi mempermudah pencarian berbagai informasi tentang calon pemimpin dan program mereka, arus informasi ini dapat meningkatkan paradoks pilihan.
Tanpa filternya, pemilih bisa kebingungan dan kewalahan karena terlalu banyak pilihan, baik dan buruk.