Sejak Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pembentukan kabinetnya, satu hal yang tak luput dari perhatian publik adalah bertambahnya anggota.
Kabinet Merah Putih ini meski berbagai janji kampanyenya demi efisiensi dan pemerintahan bersih. Kabinet yang beranggotakan puluhan menteri ini menunjukkan perbedaan yang mencolok antara tujuan pembangunan ekonomi.
Prabowo telah vokal tentang keinginannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen selama masa jabatannya.
Angka ini secara matematis mungkin dicapai dalam kondisi ideal, namun kenyataannya dalam kondisi ekonomi global yang tidak menentu; Sebuah tujuan utopis di tengah ketidakpastian investasi dan permasalahan struktural dalam negeri.
Tantangan utama tersebut antara lain; Menjamurnya kementerian dan birokrasi tidak hanya membebani anggaran nasional tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas pemerintah dalam mencapai tujuan ambisius tersebut.
Mari kita telusuri arti dari ember lemak. Dalam konteks ini, pemerintahan Prabowo tampak seperti kapal berawak, namun arahnya masih dipertanyakan.
Semakin banyak kementerian dan lembaga pemerintah yang mungkin akan diberhentikan demi efisiensi.
Sejumlah menteri yang dilantik dengan jabatan yang tumpang tindih menunjukkan bahwa politik balas dendam mendominasi upaya mencapai tujuan pembangunan.
Politik transaksional menjadi alasan utama pembentukan kabinet. Dampaknya adalah persepsi bahwa jabatan menteri lebih bersaing untuk mendapatkan prestise dan kekuasaan dibandingkan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan.
Prabowo lebih fokus membuat aliansi politik. Alih-alih memperkecil ukuran kabinet dan meningkatkan kualitas menteri, ia malah memperluas kabinet dengan berbagai posisi baru yang sulit dibenarkan.
Di sisi lain, Prabowo menilai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen terdengar seperti sebuah janji besar.
Mari kita lihat sekilas situasi perekonomian di Indonesia saat ini. Pertumbuhan ekonomi stabil pada angka 5 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Namun melonjak hingga 8 persen; kebijakan fiskal; Diperlukan perubahan drastis dalam infrastruktur dan peningkatan investasi.
Ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang; Tantangan ini diperburuk oleh berbagai faktor global, seperti resesi ekonomi di banyak negara besar dan gangguan rantai pasokan akibat pandemi yang belum sepenuhnya pulih.
Lalu bagaimana Indonesia bisa mencapai 8 persen? Tentu saja, ini adalah tim yang solid; Diperlukan strategi kebijakan yang jelas dan pengelolaan yang efektif.