KAMALA Harris harus menelan pil pahit kekalahan pada Pilpres AS 2024. Dia dikalahkan oleh saingannya Donald Trump, yang sekaligus memenangkan mayoritas di Kongres AS dan Senat.
Meski didukung dua tokoh berpengaruh, Presiden saat ini Joe Biden dan mantan Presiden Barack Obama, Kamala Harris tetap kalah.
Kekalahan Kamala Harris menunjukkan bahwa dukungan tokoh-tokoh besar tidak selalu tepat dan berhasil dalam konteks politik yang kompleks seperti Amerika Serikat.
Dukungan Biden dan Obama patut menjadi modal berharga bagi Kamala Harris. Namun, kedua penegasan tersebut kehilangan daya tariknya.
Tampaknya ketidakpuasan masyarakat Amerika terhadap Biden, terutama terhadap situasi ekonomi, menyebabkan elektoral Kamala Harris menurun.
Dalam beberapa jajak pendapat menjelang pemilu presiden, banyak pemilih yang menilai kebijakan Biden tidak efektif dalam menangani inflasi. Akibatnya, peringkat persetujuan Biden tidak “menyenangkan” bagi Kamala Harris.
Presiden Biden lebih banyak dikritik daripada dipuji, dan hal ini mencerminkan citra Kamala Harris sebagai penerus yang, menurut para pemilih, kemungkinan besar tidak akan jauh berbeda dari Biden.
Meskipun Obama masih populer dan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap sejumlah pemilih, dukungannya terhadap Kamala Harris mungkin tidak membantu.
Popularitas Obama di kalangan pemilih Partai Demokrat tidak mengubah persepsi kelompok independen, terutama kaum konservatif, yang memandang pemerintahan Partai Demokrat terlalu “sayap kanan”.
Obama menarik bagi pemilih muda dan kulit hitam. Namun dalam pemilu kali ini, seruan tersebut tidak berpihak pada Kamala Harris.
Sebagian besar pemilih konservatif percaya bahwa dukungan Obama semakin memperkuat narasi bahwa Harris mempromosikan “agenda liberal.” lingkaran elit Washington
Dukungan politik terhadap Biden dan Obama menimbulkan kesan di kalangan pemilih bahwa Harris termasuk dalam lingkaran elit Washington, yang tidak berhubungan dengan realitas masyarakat biasa.
Namun, Trump mampu membangun citra “orang luar” yang dekat dengan rakyat biasa dan menyatakan dirinya sebagai pejuang kepentingan kelas pekerja.
Ketika narasi “elit Washington” menguat, Trump menggunakan strategi populis, mengangkat isu-isu penting bagi pemilih konservatif dan kelas pekerja.
Dengan bahasa yang sederhana dan emosional, Trump menyampaikan dan menggambarkan dirinya sebagai pembela masyarakat yang diabaikan oleh elit Washington.