TRADISI politik baru telah dimulai di republik ini. Serah terima kekuasaan dari Presiden ke-7 Jokowi kepada Presiden Prabowo Subianto berjalan mulus.
Presiden Prabowo mendampingi Presiden Jokowi ke Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta untuk kembali ke Solo di Jawa Tengah. Langkah 20 Oktober 2024 ini melegakan.
Waktu berlalu dengan cepat. Ekspektasi masyarakat terhadap Presiden Prabowo cukup tinggi. Berdasarkan Litbang Kompas, kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Prabowo berada di angka 84,7 persen.
Pidato Presiden Prabow di hadapan MPR sangat berani dan menunjukkan sikap ideologisnya.
Prabowo berbicara tentang rakyat. Tentang korupsi. Tentang kekuasaan untuk rakyat, bukan saudara. Masih banyak kemiskinan di sini. Jangan terlalu percaya pada statistik. Korupsi masih menjadi ancaman bagi negara. Retorika memberikan angin segar.
Berbicara tentang “Tahta untuk Rakyat”, saya teringat pada buku karya Sultan Hamengku Buwono IX. Tahta untuk Rakyat berbicara tentang menyatukan pemimpin dengan rakyatnya. Hal ini diwujudkan dengan langkah-langkah konkrit.
Ketika kita berbicara tentang kekuasaan untuk rakyat, saya teringat pada pemikiran politik Perancis Jean-Jacques Rousseau. Pemikir Perancis ini mengembangkan konsep kedaulatan rakyat dalam karyanya The Social Contract (1762).
Rousseau berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi harus berada di tangan rakyat, termasuk kehendak umum, dan pemerintahan harus dilaksanakan hanya atas nama rakyat.
Thomas Jefferson, salah satu pendiri Amerika Serikat, mendukung gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari persetujuan orang yang diperintah.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang turut ditulisnya memuat prinsip bahwa rakyat berhak mengganti pemerintahan yang tidak sesuai dengan kepentingannya.
Abraham Lincoln mengatakan dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg (1863) bahwa demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”
Hal ini sering dianggap sebagai pernyataan klasik kekuasaan rakyat dalam sistem demokrasi.
Membangun gagasan kekuasaan bagi rakyat memerlukan pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat dan memahami perasaan batin rakyat.
Pernah ada seorang pemimpin di republik ini yang berbakti kepada rakyat. Mohammad Hatta, Hoegeng Iman Santoso, Agus Salim adalah contoh pemimpin yang menunjukkan bagaimana kekuasaan diberikan kepada rakyat. Mereka adalah karakter murni. Integritasnya tidak diragukan lagi.
Kualitas moral ditunjukkan ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Setelah pensiun sebagai wakil presiden pada tahun 1956, Hatta tidak mendapat uang pensiun. Dia kesulitan membayar tagihan listriknya. Hatta tidak bisa mewujudkan keinginannya untuk membeli sepatu Bally hingga akhir hayatnya.