SP NEWS GLOBAL Kematian Yahya Sinwar: Pukulan Telak bagi Hamas, tapi Perang Belum Berakhir
GAZA, sp-globalindo.co.id – Terbunuhnya Yahya Sinwar merupakan kemenangan terbesar Israel sejauh ini dalam perang melawan Hamas di Gaza.
Kematiannya merupakan pukulan telak bagi Hamas, organisasi yang diubah Sinwar menjadi kekuatan militan yang mengakibatkan kekalahan terburuk Israel dalam sejarah.
Alih-alih terbunuh dalam operasi khusus yang telah direncanakan sebelumnya, Sinwar malah terbunuh dalam operasi pasukan Israel di Rafah, Gaza selatan.
Baca juga: Hamas Benarkan Kematian Yahya Shinwar
Sebuah foto yang diambil di tempat kejadian menunjukkan Sinwar, mengenakan perlengkapan tempur, terbaring tewas di reruntuhan bangunan yang terkena tembakan tank.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji tentara Israel dan menekankan bahwa meskipun kemenangan besar, itu bukanlah akhir dari perang.
“Hari ini kami mengklarifikasi lagi apa yang terjadi pada mereka yang menyakiti kami. Hari ini kami kembali menunjukkan kepada dunia kemenangan kebaikan atas kejahatan.
“Namun, saudara-saudara terkasih, ini belum berakhir. (Perang) ini sulit dan sangat merugikan kita.”
Netanyahu dan sebagian besar warga Israel yang mendukung perang di Gaza membutuhkan kemenangan.
Netanyahu telah berulang kali menyatakan tujuannya: menghancurkan Hamas sebagai kekuatan militer dan politik dan memulangkan para sandera.
Tak satu pun dari tujuan tersebut tercapai, meskipun perang telah berlangsung selama setahun dan telah menewaskan sedikitnya 42.000 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar Gaza.
Hingga saat ini, sandera yang tersisa belum dibebaskan, sementara Hamas terus melakukan perlawanan dan kerap membunuh tentara Israel.
Membunuh Sinwar adalah kemenangan yang diinginkan Israel. Namun, sampai Netanyahu mengklaim bahwa tujuannya telah tercapai, perang di Gaza akan terus berlanjut, katanya.
Yahya Sinwar lahir pada tahun 1962 di sebuah kamp pengungsi di Khan Younis di Jalur Gaza. Dia berusia lima tahun ketika kamp tersebut direbut oleh Israel dari Mesir dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Keluarganya termasuk di antara 700.000 warga Palestina yang diusir dari rumah mereka oleh pasukan Israel pada perang tahun 1948.
Keluarganya berasal dari kota yang sekarang dikenal sebagai Ashkelon, yang berada di dekat perbatasan utara Jalur Gaza.