Pemilihan presiden AS tahun 2024 yang akan mengembalikan Donald Trump ke Gedung Putih berarti babak baru dan kelanjutan strategi besar Amerika di kancah domestik dan internasional.
Kemenangan Trump, dengan perolehan 295 suara elektoral dibandingkan Kamala Harris yang memperoleh 226 suara, melambangkan kebangkitan nilai-nilai konservatif dengan nuansa isolasionis yang lebih kuat dari sebelumnya.
Dukungan mayoritas Partai Republik di Kongres membuka jalan bagi agenda politik yang lebih komprehensif dan perubahan besar dalam lanskap politik Amerika.
Nasionalisme ekonomi, polarisasi budaya, dan tren baru dalam perilaku memilih adalah tema umum dalam pemilu kali ini, yang tidak hanya akan membentuk masa depan Amerika Serikat, namun juga mempengaruhi dinamika global. Nasionalisme ekonomi dan polarisasi budaya
Dengan slogan “America First” yang mampu menyentuh hati pemilih yang merasa tertinggal dari proses globalisasi, khususnya mereka yang bekerja di sektor energi dan manufaktur, kampanye Trump kembali sukses.
Nasionalisme ekonomi kembali menjadi pilar Trump yang menampilkan dirinya sebagai benteng melawan persaingan asing, khususnya Tiongkok.
Pesan ini disampaikan dengan hati-hati untuk menarik pemilih di kawasan industri Midwest, yang mencerminkan skeptisisme terhadap ketergantungan ekonomi internasional.
Di sisi lain, persoalan budaya dan identitas juga memegang peranan penting. Perdebatan mengenai kebijakan imigrasi, hak kepemilikan senjata, dan identitas budaya Amerika telah menjadi titik fokus perselisihan tajam antara Trump dan saingan politiknya.
Kesenjangan antara komunitas perkotaan dan pedesaan melebar, dan para pemilih di pinggiran kota kembali mendukung Trump, yang menandakan kebangkitan kembali konservatisme.
Hasil-hasil ini mengkristalkan lanskap politik yang ditandai dengan perbedaan ideologi yang mendalam di mana masyarakat Amerika harus menghadapi ketidakpastian ekonomi, perubahan budaya, dan dinamika geopolitik yang terus berkembang.
Hasil pemilu ini membuka jalan bagi kebijakan konservatif Trump yang telah lama ditunggu-tunggu.
Dalam layanan kesehatan, kita mungkin akan melihat upaya untuk mencabut Undang-Undang Perawatan Terjangkau dan menggantinya dengan model alternatif berbasis pasar.
Di bidang perekonomian, pemotongan pajak bagi perusahaan dan kelompok kaya akan kembali menjadi sorotan, disertai dengan dorongan untuk mendukung industri tradisional seperti bahan bakar fosil, sekaligus mengurangi investasi pada energi terbarukan.
Isu-isu keadilan sosial seperti hak-hak LGBTQ+, hak-hak perempuan, dan kesetaraan ras juga kemungkinan besar akan mengalami kemunduran karena kebijakan-kebijakan yang berpihak pada nilai-nilai konservatif.
Pendekatan kebijakan dalam negeri yang kental dengan proteksionisme ekonomi menunjukkan upaya Trump untuk melindungi industri Amerika dari ancaman asing.
Namun, dampaknya bisa sangat luas: memperdalam kesenjangan sosial, memperburuk kesenjangan ekonomi, dan memperkuat narasi nasionalis yang mendukung kepentingan industri tradisional.
Selain itu, proteksionisme ini berpotensi menghambat inovasi di sektor-sektor baru seperti energi terbarukan, yang dapat memperlambat transisi AS menuju perekonomian berbasis teknologi yang lebih berkelanjutan.
Kebijakan-kebijakan ini juga dapat membentuk kembali tatanan sosio-ekonomi Amerika Serikat dengan memperkuat cita-cita tradisional yang lebih eksklusif namun berisiko mengabaikan kebutuhan kelompok masyarakat yang paling rentan.