GAZA, sp-globalindo.co.id – “Di mana orang Arab?! Di mana orang Arab?!”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh seseorang yang keluar dari reruntuhan sambil membawa anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tak berdaya ke arah kamera yang terfokus padanya.
Pertanyaan ini terus ditanyakan oleh warga Gaza yang bertanya-tanya mengapa masyarakat di negara-negara Arab di kawasan tersebut tidak melindungi mereka dari pemboman Israel.
Baca juga: Mengapa Perdana Menteri Israel Berharap Trump Memenangkan Pemilu AS 2024?
Pasca serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 warga Israel dan menculik 250 lainnya, semua mata langsung tertuju ke Timur Tengah.
Seberapa jauh Israel akan membalas? Bagaimana reaksi masyarakat dan pemerintah Arab terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
Pertanyaan pertama masih belum terjawab: pemboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 42.500 warga Palestina, namun masih belum ada titik terang.
Hal kedua yang benar: jika ada yang memperkirakan akan terjadi protes besar-besaran di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
Meski sentimen mayoritas masyarakat di negara-negara Arab mendukung solidaritas perjuangan Palestina, namun demonstrasi yang terjadi di negara-negara tersebut hanya sedikit dan terkendali.
Sedangkan bagi pemerintah di negara-negara ini, “responnya suam-suam kuku atau tidak ada sama sekali,” kata Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University of Cairo (AUC), kepada BBC Mundo.
Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diambil oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang merupakan “perantara murni dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tidak ada negara Arab yang memutuskan hubungan dengan Israel atau mengambil tindakan diplomatik apa pun tekanan ekonomi. bahkan untuk mengakhiri perang.
Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya dengan pemerintahan Arab di kawasan? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit. Hubungan antara pemerintah dan opini publik terputus
Kawasan Timur Tengah tidak pernah menjadi sebuah blok yang utuh dan homogen.
Sepanjang sejarah, masyarakat Arab mempunyai kesamaan identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang berasal dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
Namun kepentingan pemerintah mereka terkadang berbenturan.
Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, apalagi dengan negara-negara yang menerima pengungsi dalam jumlah besar pasca deklarasi Negara Israel pada tahun 1948.
Perang saudara di Lebanon dan bentrokan antara kelompok Palestina dan Kerajaan Yordania mengingatkan sejarah yang terkadang diwarnai oleh konflik.
Namun perjuangan Palestina juga menjadi faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
Selama periode ini, Negara Israel “dipandang sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut Tamer Qarmout, profesor kebijakan publik di Doha Graduate Institute.
“Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingannya, yang sebelumnya adalah kepentingan Inggris Raya dan Prancis dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” kata Tamer Qarmout kepada BBC Mundo.
Perang yang sebelumnya dilakukan melawan Israel oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
Namun kini perang telah usai. Mesir dan Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade lalu.
Maroko, Uni Emirat Arab, dan Bahrain telah menormalisasi hubungannya dengan Israel, negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di kawasan.
Bahkan Arab Saudi melakukan hal yang sama sebelum tanggal 7 Oktober dan serangan Hamas.