Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra menjadi dua kekuatan utama dalam peta politik Indonesia saat ini. Tahun politik 2024 semakin menegaskan keadaan tersebut.
Dalam pemilihan presiden, Presiden Gerindri Prabova Subianto terpilih menjadi presiden. Sedangkan PDIP memenangkan pemilu legislatif dengan perolehan suara sah 16,72% (110 kursi DPR) atau setara dengan 25.387.279 suara.
Hal ini menunjukkan bahwa dinamika politik Indonesia pada periode 2024-2029 akan sangat menarik.
Pada dua periode sebelumnya, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif dimenangkan oleh PDIP. Namun pada tahun 2024, situasi mulai berubah dan PDIP harus mengakui keunggulan Gerindra dan koalisinya menggantikan Prabov-Gibran Rakabuming yang memenangkan pemilu presiden.
Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan bagaimana pemerintahan Prabowo akan menghadapi legislatif yang dikuasai PDIP.
Melihat tantangan yang dihadapinya, tak heran jika Prabowo sangat ingin berbincang dengan PDIP sebelum dilantik menjadi Presiden ke-8 RI. Keinginan tersebut secara terang-terangan ia ungkapkan berkali-kali.
Sementara itu, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputra juga menunjukkan kesediaannya untuk bertemu. Hal ini membuat banyak pihak meyakini pertemuan antara Prabova dan Megawati akan segera terjadi.
Namun apakah pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan koalisi?
Pada artikel kali ini, kita akan membahas lebih jauh perbedaan ideologi, sejarah konflik, stabilitas basis massa, dan kepentingan jangka panjang antara Megavati dan Prabov.
PDIP memiliki akar ideologi yang kuat pada nasionalisme dan Marxisme. Bagi PDIP, nasionalisme bukan sekadar jargon politik, melainkan sebuah nilai yang menghubungkannya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini terlihat dari komitmen PDIP dalam membangun masyarakat adil dan makmur serta menjaga keutuhan NKRI.
Sebaliknya, Gerindra di bawah kepemimpinan Prabov lebih cenderung pada pendekatan populis yang kerap menggunakan retorika militer. Prabowo kerap menampilkan dirinya sebagai sosok yang kuat dan tegar dalam menghadapi tantangan.
Komentator politik Dr. Rudy Hortona menjelaskan perbedaan ideologi antara PDIP dan Gerindra menjadi kendala utama.
PDIP menganut prinsip nasionalisme inklusif, sedangkan Gerindra lebih condong ke populisme eksklusif. Koalisi keduanya bisa merusak jati diri PDIP di mata pendukungnya.
Perbedaan ideologi ini menimbulkan jarak yang sulit dijembatani. Bagi PDIP, berkoalisi dengan Gerindra yang bercitra militer bisa dianggap sebagai langkah mundur yang bisa merusak reputasi dan jati diri partai tersebut.