Kunjungan kenegaraan pertama Presiden Prabowo Subianto ke Tiongkok pada 8-10 November 2024 seharusnya menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan perannya di kancah dunia. Namun, hasilnya mengecewakan negara.
Sumber pengaduan tersebut adalah pernyataan yang ditandatangani Presiden Xi Jinping pada 9 November, yang memuat kalimat “kerja sama di bidang saling pengertian”.
Artikel ini mengisyaratkan telah terjadi perubahan kebijakan yang dapat melemahkan posisi Indonesia yang kini membantah klaim maritim Tiongkok.
Baca juga: Soal Laut China Selatan, Prabowo: Kita Hormati Semua Kekuatan, Tapi Kedaulatan Tetap Jaga Pengakuan Kementerian Luar Negeri dan Presiden
Usai pengumuman tersebut, Kementerian Luar Negeri RI langsung mengeluarkan instruksi untuk meredam kekhawatiran masyarakat.
Mereka dengan cepat menyatakan bahwa perjanjian tersebut “tidak dapat diartikan sebagai pengakuan atas klaim ‘Sepuluh Garis’” dan “tidak mempengaruhi kedaulatan atau hak teritorial Indonesia di Laut Natuna Utara.”
Presiden Prabowo Subianto dikutip Kompas.id berbicara tentang peradilan kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo saat menjawab pertanyaan wartawan usai bertemu dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin di Washington DC, Amerika Serikat pada Rabu (13/11/2024) atau Kamis (14/11/2024) waktu Indonesia.
“Kita sudah bicara soal Laut Cina Selatan, saya bilang perlu kerja sama dengan semua pihak. Kita hormati semua kekuatan, tapi kita tetap pertahankan negara kita,” kata Prabowo.
Prabowo menambahkan, dirinya juga sedang mencari peluang untuk menjalin kerja sama. Menurutnya, kerja sama lebih baik daripada konflik.
Baca juga: Prabowo Bertemu Direktur CIA, Benarkah Bicara Laut China Selatan? Sepuluh garis putus-putus
Selama ini aktivitas Indonesia di Laut Cina Selatan selalu sesuai dengan hukum internasional. Keputusan Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) pada tahun 2016 terkait dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) sangat mendukung klaim “garis sinematik” Tiongkok.
Namun, Tiongkok telah merevisi tuntutannya menjadi “sepuluh garis putus-putus” pada tahun 2023, yang semakin mengancam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Pemerintah Indonesia telah menegaskan selama beberapa waktu bahwa tidak ada klaim yang tumpang tindih untuk dinegosiasikan. Penggabungan ini tampaknya akan dibatalkan pada November 2024, sebelum ada klarifikasi dari Kementerian Luar Negeri dan Presiden.
Di masa lalu, Indonesia telah mengkonfirmasi kurangnya tumpang tindih dengan menyebutkan kemungkinan integrasi. Hal ini merupakan sinyal yang mempengaruhi posisi Indonesia dalam UNCLOS.
Perjanjian konsiliasi biasanya hanya terjadi di wilayah di mana kedua negara mengakui adanya konflik. Jika Indonesia bersedia melakukan hal tersebut di zona ekonomi eksklusif yang tidak dipermasalahkan, maka hal itu bisa dilihat sebagai tanda rekonsiliasi antar negara.
Perincian keuangan dari kunjungan Trump tidak dapat diabaikan. Forum Bisnis Indonesia-China di Beijing menghasilkan perjanjian investasi senilai IDR 156,19 triliun (sekitar US$10 miliar). Investasi ini diharapkan mencakup infrastruktur, energi, dan teknologi.