Hari Santri bukan sekedar festival. Hal tersebut merupakan tanda nyata adanya bias dari pemerintah atau pemerintah terhadap pesantren.
Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) pada tahun 2015 telah menuai banyak rumor politik. Ada yang melihatnya sebagai upaya untuk meminta ampun kepada masyarakat, ada pula yang melihatnya sebagai pengakuan atas kerja nyata para santri.
Yang pasti pasca kontroversi ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren masuk dalam daftar tujuan dasar pembangunan negara.
Identifikasi, verifikasi dan kebijakan negara berdasarkan pesantren (kebijakan pesantren). Ketiga hal tersebut dapat menjelaskan bagaimana negara akan membangun keputusan untuk mengembangkan pesantren.
Baca Juga: GP Ansor Beri Toleransi 8.888 Santri Rayakan Hari Santri 2024 di Banten
Hal ini bermula dari pemahaman masyarakat terhadap peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan. Kepastian tersebut berangkat dari visi bahwa pesantren sangat bermanfaat dalam membangun masyarakat dan memerlukan kerjasama dalam perkembangan dan kemajuannya.
Proses perencanaan tersebut merupakan salah satu bentuk inisiatif negara untuk mendukung pengembangan pesantren.
Perhatian bahkan pujian terhadap nilai-nilai baik dan tradisi pesantren bukanlah hal yang baru. Namun, hal ini biasanya hanya didasarkan pada penghargaan atas pekerjaan dan jasa sebelumnya.
Pada pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), desa tersebut dievakuasi dan direncanakan melalui pembangunan jalur kereta api yang diyakini mampu menjamin pembangunan berkelanjutan di masa depan.
Baca juga: Hari Santri Nasional: 1.400 Siswa di Lamongan Terbangkan Balon Harapan
Pertanyaannya di sini adalah: Bagaimana status pesantren ke depan di era Prabowo Gibran? Langkah nyata mengenal hukum
Langkah besar yang diambil negara untuk mendukung kerja, kegiatan dan aktivitas “Rakyat Saronjan” terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Sekolah Kebudayaan Islam.
Sebelum undang-undang ini disahkan, pesantren sering dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan. Meski diketahui keberadaannya, namun kenyataannya mereka masih belum menyandang status layak sebagai lembaga pendidikan biasa.
Presiden Jokowi sepertinya melihat hal ini sebagai permasalahan sistemik yang perlu segera diatasi.
Baca juga: Sambut Hari Santri, Pemkot Semarang Siapkan Perda tentang Pesantren untuk Semangat Santri
UU Nomor 18 Tahun 2019 mengakui pesantren sebagai lembaga pendidikan setara sekolah dan universitas dalam sistem nasional.
Hal ini merupakan langkah penting yang memberikan payung hukum bagi pesantren agar berhak menyelenggarakan pengajian sesuai tradisi tanpa mengikuti aturan yang digunakan di sekolah.
Prinsip ini juga mencegah pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan mengintegrasikan keduanya secara setara.