SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Global

Menakar Pergantian Rezim di Suriah

Selama hampir lima tahun, Suriah berada di bawah kendali rezim keluarga Assad. Dimulai dengan kudeta pada tahun 1970 ketika Hafez al-Assad berkuasa dan berlanjut hingga tahun 2000 ketika ia digantikan oleh putranya Bashar al-Assad.

Meskipun rezim tersebut mampu mengatasi berbagai gejolak internal dan eksternal, pasang surut dinamika kekuasaan antara penguasa dan pemberontak telah menjadikan Suriah sebagai tempat konflik yang tidak pernah berakhir.

Pergantian rezim di Suriah merupakan subjek yang penuh dengan spekulasi, tidak hanya dalam kerangka nasional namun juga pada tingkat geopolitik global.

Selama lebih dari empat dekade, rezim Assad mengandalkan kontrol militer yang ketat, dukungan dari minoritas Alawi dan aliansi strategis dengan negara-negara seperti Rusia dan Iran untuk kekuasaannya.

Baca juga: Pelajaran dari Suriah: Hindari ketergantungan pada kekuatan eksternal

Namun, gelombang “Musim Semi Arab” yang melanda Timur Tengah pada tahun 2011 memicu protes besar-besaran di Suriah, menantang legitimasi rezim tersebut.

Demonstrasi yang awalnya damai dengan cepat berubah menjadi konflik bersenjata setelah rezim Assad membalasnya dengan kekerasan.

Kelompok pemberontak yang terdiri dari berbagai faksi dengan ideologi berbeda berhasil menguasai sebagian besar wilayah pada awal konflik.

Namun intervensi militer Rusia pada tahun 2015 berhasil memulihkan kendali rezim Assad atas sebagian besar wilayah strategis tersebut.

Sejauh ini, konflik di Suriah belum sepenuhnya berakhir, dan banyak wilayah masih dikuasai oleh kelompok oposisi atau milisi Kurdi yang didukung AS.

Dari perspektif eskatologis Syekh Imran Hussein, pergantian kekuasaan di Suriah dapat berdampak signifikan bagi kepentingan strategis Israel.

Suriah, salah satu negara yang mendukung perlawanan terhadap Israel, menjadi sasaran yang dilemahkan akibat konflik yang berkepanjangan.

Menurut pandangan ini, pergantian rezim berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan Israel untuk memperluas pengaruhnya di kawasan.

Senada dengan pandangan Syekh Imran Hussein, krisis Suriah merupakan bagian dari agenda geopolitik global yang diasumsikan mendukung proyek Zionis.

Baca juga: Pasca Jatuhnya Assad, Waspadai Arus Balik Teroris di Suriah

Dengan melemahnya Suriah, Israel akan memiliki ruang lebih besar untuk mewujudkan ambisi geopolitiknya, termasuk kemungkinan menguasai penuh Dataran Tinggi Golan, yang masih diakui sebagai wilayah Suriah berdasarkan hukum internasional.

Data terakhir menunjukkan Israel telah merebut sekitar 10 kilometer wilayah Suriah di atas Dataran Tinggi Golan.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *