JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Soal netralitas dan politisasi Polri terus menjadi perdebatan di Pemilihan Umum Daerah (Pilakada) serentak 2024.
Timbul pertanyaan apakah Polri masih merupakan lembaga hukum yang netral atau sudah menjadi instrumen kekuasaan politik.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristianto menyinggung dugaan pengerahan aparat kepolisian dalam operasi politik terselubung pada Pilkada 2024.
Ia juga menggunakan istilah pesta coklat atau juru masak taman sehubungan dengan dugaan aktivitas politik, yang diduga mengacu pada warna seragam polisi.
Dengan menghilangkan dwifungsi ABRI dan memisahkan TNI-Polri, reformasi diharapkan dapat mendorong Polri menjadi organisasi profesional yang jauh dari kancah politik. Namun kenyataannya terlihat berbeda.
Baca juga: Polisi Jadi Inti Tuduhan Parkok dan Usulan Kembali ke TNI/Kementerian Dalam Negeri
Ironisnya muncul jika mengingat semakin besarnya peran Polri dalam politik kekuasaan. Bambang Rukminto, pengamat Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan ada hubungan erat antara Polri dan politisi.
Hubungan ini menarik Polri ke dalam politik praktis karena lemahnya peraturan negara dan pengawasan legislatif.
“Upaya melibatkan polisi dalam politik kekuasaan praktis merupakan dampak dari lemahnya negara dalam menciptakan sistem regulasi dan lemahnya pengawasan legislatif terhadap polisi agar bisa ikut serta dalam politik kekuasaan rezim yang berkuasa,” jelas Bambang. Dihubungi sp-globalindo.co.id, Minggu (12/1/2024).
Dengan lebih dari 450.000 personel dan anggota keluarga, Polri memiliki jangkauan nasional.
Situasi ini memberikan potensi besar untuk mempengaruhi suara politik di berbagai daerah.
Baca juga: Mengapa Perpecahan TNI-Polri dan Isu Pesta Coklat Muncul di Pilkada 2024?
Memang, menurut Bambang, keterlibatan Polri di dunia politik semakin terlihat sejak pemilu langsung pertama pada tahun 2004.
Puncaknya terjadi pada 2019 dengan terbentuknya Satgas Merah Putih yang menurut Bambang sangat efektif dalam mendikte dinamika politik.
“Mesin polisi tidak hanya digunakan pada pemilu 2024 saja, tapi sudah menjadi pola sejak awal pemilu langsung,” kata Bambang.
Penggunaan Polri sebagai alat politik tidak hanya merusak kepercayaan publik, namun juga menciptakan ketimpangan persaingan politik.
Dengan kewenangan penegakan hukumnya, Polri merupakan alat yang efektif untuk menindas lawan politik.
Baca juga: Bolehkah Polri Ditempatkan di Bawah Kementerian untuk Menjunjung Profesionalisme?