SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Internasional

Penggembala di Chad Hadapi Kehancuran akibat Kekeringan dan Banjir

FADOUL Saleh, seorang gembala tua dari Chad, sedang menghadapi tahun-tahun terburuknya. Kekeringan dan banjir memusnahkan ternaknya. Bagaimana dia dan ribuan orang lainnya akan bertahan hidup ketika Sahel terkena dampak perubahan iklim?

Sepanjang hidupnya, Fadoul Saleh mengikuti tradisi penggembala nomaden nenek moyangnya yang berpindah-pindah mengikuti musim mencari padang rumput untuk ternaknya.

Januari lalu, pria berusia 73 tahun itu memelihara lebih dari 100 ekor sapi. Namun kini, hidupnya berubah karena perubahan cuaca yang buruk di Chad.

Lihat selengkapnya: Apa itu perubahan iklim?

“Tahun ini saja, kekeringan menyebabkan hilangnya 70 ekor sapi,” katanya sambil duduk di bawah naungan pohon di luar ibu kota Chad, N’Djamena. Wajahnya sangat lelah.

Hujan pertama di musim hujan yang seharusnya membawa harapan dan kenyamanan bagi para penggembala justru berubah menjadi bencana. Banjir dahsyat menyapu 35 ekor sapi terakhirnya dan sisa harta bendanya.

Chad, seperti wilayah Sahel Afrika lainnya, terkena hujan lebat yang menyebabkan banjir berkepanjangan.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, dikutip DW, melaporkan sejak Juli tahun lalu, banjir telah menewaskan sedikitnya 576 orang dan berdampak pada lebih dari 1,9 juta orang. Jumlah tersebut lebih dari 10 persen populasi Chad.

“Ini kehancuran total,” kata Saleh. “Ini masih pagi, masih gelap. Banjir menghanyutkan hewan peliharaan saya dan seluruh anggota keluarga saya. Kami telah kehilangan orang-orang terkasih. Segala sesuatu mulai dari truk hingga pohon tersapu air.” Iklim ekstrem mengancam kehidupan para petani

Ayah dari lima anak ini saat ini sudah tidak ada lagi yang selamat. Ia tinggal di pinggiran N’Djamena, mencari nafkah dengan membantu orang lain yang datang untuk menjual hewan peliharaannya.

Saleh bercerita, musim kemarau sering kali disusul hujan lebat. Tapi tahun ini tidak biasa, katanya.

Dari bulan Februari hingga April, suhu di atas 45 derajat Celcius akan menghancurkan sumber daya alam yang langka.

Saleh mengatakan kepada DW bahwa dia bukan satu-satunya penggembala yang berjuang untuk bertahan hidup di lingkungan di mana air dan padang rumput semakin langka.

“Kami mempunyai lahan penggembalaan yang luas namun terdegradasi dan kekurangan air. “Kita harus terus bergerak,” katanya.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *