Konflik Palestina-Israel adalah salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks dalam sejarah modern, dengan dampak luas terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk kemanusiaan dan perekonomian.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa tokoh penting seperti Ismail Hanikh, Seyyed Hassan Nasrullah dan Yahya Sinwar, yang dikenal sebagai simbol perjuangan Palestina, telah menarik perhatian terhadap perkembangan luar biasa selama konflik.
Konflik yang kembali berkobar sejak Oktober 2023 ini telah memakan banyak korban jiwa dan berdampak pada perekonomian, khususnya di Palestina.
Palestina menghadapi masalah ekonomi yang semakin parah akibat pembatasan sumber daya, blokade perdagangan, dan konflik yang berulang.
Ketergantungan pada bantuan internasional dan devisa menyulitkan Palestina mengembangkan perekonomian yang mandiri. Tingginya tingkat pengangguran, khususnya di kalangan pemuda, dan terbatasnya produktivitas menimbulkan tantangan yang kompleks terhadap pertumbuhan ekonomi Palestina.
Di sisi lain, Israel, sebagai anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, memiliki perekonomian yang lebih maju dan terdiversifikasi.
Namun konflik tersebut juga menimbulkan dampak yang signifikan bagi Israel, khususnya di sektor konstruksi, termasuk proyek-proyek besar seperti pembangunan hotel Mandarin Oriental di Tel Aviv.
Perekonomian Israel tidak sepenuhnya kebal terhadap dampak konflik, dengan lebih dari 80 persen proyek konstruksi Israel terhenti.
Meskipun terdapat berbagai upaya PBB mulai dari diplomasi hingga intervensi militer, konflik ini masih jauh dari selesai.
Salah satu penyebab utama kegagalan solusi tradisional tersebut adalah kurang fokusnya aspek ekonomi yang menjadi landasan utama kekuasaan negara.
Perekonomian tidak hanya menjadi penopang utama kehidupan bermasyarakat, tetapi juga menjadi landasan kekuatan militer dan kebijakan pemerintah.
Seluruh aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, pendidikan hingga keamanan, bergantung pada stabilitas dan kekuatan ekonomi suatu negara.
Di balik setiap keputusan politik atau militer terdapat pertimbangan ekonomi yang mendalam. Perekonomian yang kuat dapat membangun militer yang kuat, mendanai kebijakan sosial, dan memberikan pengaruh yang lebih besar pada hubungan internasional.
Sebaliknya, negara yang ekonominya lemah rentan terhadap krisis internal dan eksternal, termasuk konflik.
Sebagai kekuatan ekonomi, Israel mempunyai kemampuan untuk menciptakan kekuatan militer dan kebijakan fiskal yang besar yang mempengaruhi situasi politik di kawasan. Namun saat ini, Israel menghadapi persaingan ketat dari pesaing yang lebih seimbang seperti Iran.
Iran telah lama dikenal sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan militer, kekayaan ekonomi, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Negara ini memiliki sejarah panjang filsafat dan ilmu pengetahuan, yang diwarisi dari budaya Persia, dan merupakan basis kekuatan budaya dan intelektual Iran saat ini.
Di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 mengubah hampir setiap aspek kehidupan nasional, membawa perubahan besar tidak hanya dalam tatanan sosial dan politik, tetapi juga dalam kemandirian ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Awalnya, embargo ekonomi yang diberlakukan beberapa negara Barat, khususnya Amerika Serikat, diperkirakan akan melemahkan Iran. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Iran telah mengubah tekanan ekonomi menjadi peluang untuk membangun perekonomian yang lebih mandiri dan kuat.
Ketergantungan pada sumber daya dalam negeri, pengembangan teknologi lokal, dan inovasi di bidang strategis seperti energi dan militer telah memungkinkan Iran untuk berkembang meskipun ada sanksi yang berat.
Tidak seperti negara-negara Timur Tengah lainnya yang bergantung pada bantuan internasional atau sumber daya asing, Iran telah mencapai kemajuan signifikan dalam situasi sulit tanpa menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Di bidang ilmu pengetahuan, Iran telah menorehkan prestasi yang luar biasa. Menurut data terbaru daftar 2 persen ilmuwan terbaik dunia yang diterbitkan oleh Stanford dan Elsevier, Iran memiliki 2.503 ilmuwan yang masuk dalam kategori ini.
Jumlah tersebut jauh melampaui Indonesia yang meskipun berpenduduk lebih besar, hanya mempunyai 150 ilmuwan dalam daftar yang sama.
Fakta ini mencerminkan budaya intelektual Iran yang kuat dan komitmen terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berakar pada Iran sebagai pusat peradaban kuno yang menjunjung tinggi nilai-nilai filsafat dan ilmu pengetahuan.
Keberhasilan Iran dalam mengembangkan kekuatan militer dan ekonomi serta membangun komunitas ilmiah yang kompetitif secara global telah menunjukkan bahwa sanksi dan embargo tidak akan menghambat kemajuan.
Sebaliknya, dalam kasus Iran, tekanan eksternal ini telah mendorong inovasi, ketahanan, dan kemandirian, sehingga semakin memperkuat posisi negara tersebut di kancah internasional dari sudut pandang militer, ekonomi, dan ilmiah.