Amanat konstitusi mengharuskan negara untuk mengurus masyarakat miskin. Berkat amanat tersebut, berbagai skema yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin tidak pernah pudar dari waktu ke waktu.
Namun, tampaknya sulit untuk menghapuskan fakta kemiskinan. Oleh karena itu kita sering mendengar pengamatan yang meremehkan yang menganggap frasa “pemeliharaan” sama dengan pemeliharaan kemiskinan itu sendiri.
Ada pula pandangan konspirasi yang menyatakan kemiskinan dan kebodohan sengaja dipertahankan untuk mendukung kemenangan politik melalui sistem pemilu liberal.
Dalam sistem ini, semua warga negara yang mempunyai hak pilih mempunyai bobot yang sama tanpa memandang latar belakang statusnya.
Satu suara seorang profesor di universitas ternama sama dengan satu suara warga miskin dan bodoh.
Demi mendapatkan suara, upaya mempengaruhi warga miskin dan bodoh jauh lebih mudah, dibandingkan dengan para profesor atau orang terpelajar lainnya yang mengaku mengutamakan rasionalitas dan idealisme.
Maka tidak heran jika dalam setiap perayaan politik seperti pemilu dan Pilkada, seluruh pasangan calon berusaha memunculkan ide-ide populis untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat, dan berbagai pelayanan publik secara gratis.
Tidak cukup dengan ide, juga dilakukan tindakan populis yang mempengaruhi pilihan masyarakat, seperti melakukan politik uang dan bantuan sembako.
Perselisihan politik di Indonesia pasca reformasi mengkondisikan dan mengkondisikan penerapan budaya pragmatis. Sikap pragmatis telah lama menjadi bagian dari pemikiran manusia.
Dalam kajian filsafat, pendekatan pragmatis bermula dari nilai-nilai pragmatisme yang mengutamakan pencapaian tujuan.
Hal ini terbukti dalam politik elektoral seperti pemilu dan pemilu daerah, di mana orang-orang yang ingin meraih kekuasaan bisa saja melakukan tindakan-tindakan yang terkesan mengabaikan persoalan moral dan etika.
Tujuannya tidak lain adalah bagaimana memperoleh kekuasaan secara efisien. Tidak ada kebenaran absolut dalam pragmatisme politik, semuanya bersifat relatif dan fleksibel.
Hal serupa juga terjadi pada masyarakat yang sebagian besar miskin dan tidak berpendidikan. Picks dan tumpukan digunakan sebagai momentum untuk meraih keuntungan.
Bentuknya bisa berupa uang atau sembako yang sangat mereka perlukan sehari-hari.
Mereka tidak mempermasalahkan besar kecilnya kesepakatan karena bimbingan kesadaran magis memerlukan sikap bersyukur. Seseorang telah mengatur ibu kotanya.