JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang paling rentan terhadap gempa bumi dan tsunami.
Pasalnya Jepang berada di Lingkar Api Pasifik yang merupakan sabuk gempa teraktif di dunia.
Meski banyak bangunan runtuh dan jalan diblokir, gedung-gedung bertingkat di Tokyo, Osaka, dan Yokohama tetap berdiri setelah gempa.
Insinyur struktur dan Profesor Universitas Tokyo Jun Sato mengatakan bahwa semua bangunan, terutama bangunan kecil atau bangunan sementara, harus dirancang tahan terhadap gempa.
Seperti dijelaskan BBC, ada dua tingkat perlawanan utama yang harus dicapai oleh para pembangun di Jepang.
Baca Juga: Gunakan LRB, Bangun Jembatan di Pansela DIY Tahan Gempa
Yang pertama adalah ketahanan terhadap gempa kecil, yaitu jenis gempa yang bisa terjadi tiga atau empat kali dalam seumur hidup sebuah rumah di Jepang.
Rumah harus dibangun sedemikian rupa agar tahan terhadap gempa.
Tingkat ketahanan yang kedua adalah struktur yang mampu menahan gempa besar, yang jarang terjadi.
Gempa acuannya adalah gempa besar Kanto tahun 1923 berkekuatan 7,9 skala Richter (SR). Saat gempa terjadi, Tokyo dan Yokohama hancur dan lebih dari 140 ribu orang meninggal.
Untuk gempa bumi dengan guncangan lebih besar dari ambang batas ini, menjaga sistem tetap bersih tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Kerusakan apa pun yang tidak menyebabkan cedera pada manusia adalah sasarannya.
Baca juga: Hadi Tjahjanto Pentingnya Pemerintah Daerah Memiliki RDTR untuk Meredam Gempa Bumi
Cara mengurangi kerusakan akibat gempa
Untuk menahan kekuatan gempa yang besar, bangunan harus menyerap energi seismik sebanyak mungkin.
“Kalau sebuah bangunan bisa menyerap seluruh energi (gempa bumi), maka bangunan itu akan runtuh,” kata Jun.
Sepanjang proses konstruksinya, bangunan di Jepang akan dipasang dengan menggunakan baut atau peredam kejut.
Bantal berbentuk balok karet dengan tebal 30-50 cm. Jika kolom bangunan diletakkan di atas pondasi, kolom tersebut berada di atas bantalan karet.