Selain terdampak rendahnya partisipasi pemilih. Fenomena “yang penting sibuk” terlihat jelas pada pemilukada kita tahun 2024 lalu.
Orang cenderung memilih pemimpin berdasarkan antusiasme dan kegembiraan, bukan berdasarkan kualitas atau visi yang ditawarkan kandidat.
Lirik yang tepat dari lagu “Pokoke Joget” – tidak ada yang mengerti lagunya, tidak ada yang mengerti puisinya… dan yang paling penting, saya menari. Logika dan pemikiran kritis para pemilih tenggelam dalam gelombang popularitas Polandia di media sosial.
Media sosial menjadi senjata utama untuk mencuri perhatian para kandidat. Bukan visi dan misi yang dijadikan senjata, melainkan konten viral; meme dan gimmick.
Kandidat yang tampil teliti di Timeline lebih diingat dibandingkan kandidat yang sibuk menyelesaikan argumen. Era ini menjadikan popularitas sebagai standar manajemen dan mendobrak batasan antara pemimpin berkualitas dan selebriti digital. “Pertunjukan Realitas”
Peralihan dari kualitas ke selebriti membuat Pilkada bak reality show. Kampanye dengan ide membangun komunitas kurang menarik dibandingkan dengan tingkat fitur yang ramai.
Oleh karena itu, para pemilih asli memilih karena mereka merasa penting untuk berpartisipasi dalam tren baru.
Pergeseran ini diperburuk oleh strategi tim kampanye kandidat yang benar-benar memahami dan mendorong sentimen masyarakat Kiwari.
Ketimbang menyajikan program kerja yang mendalam, mereka lebih memilih membuat narasi emosional yang mudah dicerna.
Mereka menggunakan lagu-lagu populer, “tema yang menarik” dan bahkan sentimen kontroversial untuk merancang program berkualitas “untuk mencuri hati pemilih tanpa harus bersusah payah.”
“Reality show Pilkada” mengubah realitas acara pimpinan menjadi “festival visual”. Pada festival gambar, gambar berbicara lebih keras dibandingkan isinya.
Penampilan di media sosial; Pilihan kata dan gerak tubuh lebih menentukan persepsi masyarakat dibandingkan kemampuan intelektual. Meski kandidat “fotogenik” tidak punya rencana pasti,
Salah satu dampak utama dari tren ini adalah hilangnya ruang diskusi yang bermakna selama proses kampanye.
Pemilih terjebak dalam perdebatan dan pembelaan kandidat pilihannya berdasarkan perasaan emosional dibandingkan argumen rasional.
Akibatnya para pemilih terpecah, namun kualitas pemimpin tidak menjadi isu dalam diskusi mereka.