“Pemungutan suara dilakukan oleh perusahaan yang menjual benang gigi di TV.” (Noam Chomsky)
Secara teknis, pemilu tidak ada bedanya dengan industri “memberi” yang menggunakan iklan sebagai alat untuk menarik konsumen.
Lagi pula, dalam pemilu, para kandidat berjuang untuk menjadi populer, seperti pasta gigi atau air minum kemasan, sebelum masyarakat menerimanya (yang diterima) dan dipilih (disukai).
Dalam proses meraih popularitas, para pemenang menggunakan prinsip hubungan sosial dan periklanan, yang sering disebut “belanja politik”, yaitu menjual “penjualan”, untuk menutupi kekurangan kekuatan, melakukan “iklan hitam” terhadap pesaing. produk yang sama. perusahaan menjanjikan hal-hal yang terkadang sulit diterima secara rasional, seperti iklan hiperbolik di ruang publik.
Oleh karena itu, dalam 20 tahun terakhir, perlahan kita mulai melihat bahwa pemilu di Indonesia adalah buah dari “lembaga politik” yang membutuhkan dana besar, strategi pemasaran yang kuat, dan tim humas yang profesional.
Boleh jadi perbedaannya hanya pada tingkat kualitas saja, bukan realitasnya, pemilu merupakan pelaksanaan pemerintahan rakyat, bekerja dalam sistem demokrasi, dan konsep “rakyat, rakyat, dan rakyat”.
Namun kenyataannya, tentu saja tidak seperti itu. Saat ini, hanya para pemimpi yang masih berani mengatakan bahwa pemilu adalah untuk rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Faktanya, suara itu sebenarnya dari rakyat, yang dikuasai Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan partai politik, dan diserahkan kepada orang bijak setelah pemilu, hanya Tuhan dan rumput yang gemetar tahu.
Jika kebaikan ini terjadi selama ini, Indonesia akan benar-benar sejahtera.
Dan memang demikian adanya. Bisa jadi setelah proses ini, pasta gigi seperti contoh Noam Chomsky di atas lebih bermanfaat dibandingkan pejabat terpilih, karena tujuannya sangat sederhana: menjaga gigi tetap bersih dan sehat, bahkan lebih cerah.
Sedangkan “mengapur ala orang pilihan” bisa berakibat buruk hingga membuat gigi dan lidah kita lelah membaca dosa-dosanya setelah mereka berkuasa, atau berumur lima atau sepuluh tahun.
Logika dan perbandingan yang sama juga berlaku pada pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan tingkat negara bagian dan lokal.
Mungkin kurang progresif dibandingkan pemilu di tingkat nasional. Terutama di wilayah yang jauh dari pusat pengaruh.
Menjual pasta gigi terkadang masih populer, dengan poster dan baliho digantung di sepanjang jalan kawasan tersebut.
Saat media meminta wawancara dengan para kandidat, persiapannya memakan waktu lama karena bingung harus berkata apa.