SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Nasional

GLOBAL NEWS Rekonsiliasi Tanpa Menutupi Sejarah

“Jika Anda ingin memahami sesuatu, amati permulaan dan pertumbuhannya” (Aristoteles).

Aristoteles mengajarkan kita bahwa untuk memahami sesuatu kita harus memahami cerita dari awal beserta perkembangannya.

Artinya, jika kita gagal memahami asal muasal dan sejarah perkembangannya, kita mungkin hanya memahaminya secara dangkal dan berpotensi menjadi “si tahu segalanya” yang mengaku mengetahui sesuatu. Hanya sebagian kecil saja yang dapat dipahami.

Dari pernyataannya kita memahami mengapa masyarakat kita kurang “berpengetahuan” dalam mencoba memahami sejarah secara obyektif dan komprehensif.

Sebab sejarah cenderung memanipulasi kepentingan politik demi perdamaian dan keharmonisan. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa sejarah ditulis bukan oleh sejarawan melainkan oleh para penakluk.

Pada akhirnya, kita harus bisa tunduk pada label bangsa “pelupa” dan memaafkan segala kekeliruan sejarah bangsa kita dengan dasar pemikiran menatap masa depan.

Memaafkan adalah satu hal, melupakan adalah hal lain. Namun, dengan menghilangkan narasi suatu hal dari sejarah, maka konteksnya pun hilang dan hilang.

Karena mengubah narasi tentang sesuatu di masa lalu mengaburkan batas antara “itu dimulai” dan “itu berlanjut”, menguburnya di masa lalu dan membuka lebih banyak peluang untuk mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Biarkan cerita-cerita lama di masa lalu tetap ada, tentunya dalam konteksnya (waktu dan tempat), tidak perlu dihapus. Jika sebuah cerita baru muncul, biarkanlah itu muncul di zaman sekarang, dan biarkanlah itu menonjol.

Saya pikir ini adalah pendekatan paling cerdas dan masuk akal yang harus diambil oleh lembaga pemerintah mana pun. Dengan kata lain, orang-orang ini tidak terlalu lupa.

Orang-orang ini sangat senang dengan kebenaran, namun sulit diperoleh karena kepentingan politik yang sering melingkupinya.

Fakta dan sejarah mendasar inilah yang dilupakan MPR ketika membatalkan beberapa TAP (Keputusan Majelis Permusyawaratan Umum) MPR terhadap tiga presiden Indonesia, yaitu Soekarno, Soeharto, dan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

MHR bisa saja mengecualikan Bung Karno dari wacana resmi kenegaraan pada era lahirnya TAP MPR, namun keputusan tersebut tidak mampu mengubah seluruh realitas zaman dan harapan masyarakat saat itu. tangan kedua.

Artinya, dengan dihapuskannya MKR, berarti MKR menolak cita-cita MKR saat itu, yang dibuktikan dengan lahirnya MKR BGB. Secara kasar, MPR saat ini bisa diartikan sebagai pembalikan dari keputusan MPR sebelumnya.

Meski dasar hukum kedua era Republik Rakyat Tiongkok ini berbeda, namun keduanya menyampaikan aspirasinya pada era dan konteks yang berbeda.

Lahirnya BGB pada masa itu merupakan gambaran sejarah pada masa itu, dan khususnya gambaran aspirasi masyarakat yang disampaikan oleh MKR, yang melalui MKR menjadi legitimasi politik masyarakat untuk menggulingkan Soekarno. Fakta sejarah bahwa Bung Karno digulingkan.

Dengan kata lain, pembatalannya merupakan delegitimasi perkembangan keinginan sosial MKR saat ini yang telah direbut oleh MKR eks.

Tentu saja, sebagaimana kita ketahui bersama, hilangnya narasi tersebut kehilangan alasan Bung Karno tidak berkuasa pada masa itu, sekaligus alasan Orde Baru menggantikannya.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *