JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Pemerintah telah menetapkan kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Langkah tersebut juga menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai keinginan pemerintah untuk memperbaiki administrasi perpajakan. seiring banyaknya aspirasi masyarakat yang menentang keputusan ini.
Mengingat kondisi keuangan yang sulit dan tantangan perekonomian global, apakah kebijakan ini benar-benar dapat diterapkan secara efektif?
Baca juga: Puan Sebut PPN 12 Persen Bisa Merugikan Perekonomian Masyarakat, Minta Pemerintah Siapkan Solusinya. Mengapa PPN dinaikkan?
Wigyanto Samerin, ekonom Universitas Paramadina, menilai kenaikan tarif pajak pertambahan nilai merupakan langkah yang bisa dimaklumi, meski jauh dari ideal.
Situasi anggaran yang penuh tekanan saat ini menjadi alasan utama penerapan kebijakan ini. Namun, faktor-faktor seperti tarif pajak yang rendah, basis pajak yang sempit dan korupsi yang meluas di sektor perpajakan tidak dapat diabaikan.
“Rendahnya tarif pajak kita disebabkan oleh sempitnya basis pajak, maraknya korupsi di sektor perpajakan, dan rendahnya kepatuhan pembayaran pajak. Pertimbangan kenaikan ini lebih ditujukan untuk mengamankan keuangan negara kita, terutama dalam menghadapi situasi sulit di tahun 2025. dan 2026.”
Baca juga: Ketua DPR Ingatkan Pemerintah, Pajak Pertambahan Nilai 12% Bisa Picu Inflasi dan Turunkan Daya Beli
Apakah hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat?
Kenaikan pajak pertambahan nilai tentu berdampak pada daya beli masyarakat. Dalam konteks perlambatan ekonomi, kebijakan ini mengancam akan memperlambat konsumsi rumah tangga.
Menurut Wijianto, pemberian insentif dari pemerintah dapat membantu menjaga daya beli. Namun, efektivitas insentif bergantung pada implementasinya di lapangan.
“Semakin rumit suatu insentif, maka akan semakin rumit pula implementasinya. Selain itu, insentif tidak akan efektif jika pihak yang dituju tidak memahaminya. Pemerintah harus mengkomunikasikan kebijakan ini dengan baik kepada pengusaha dan masyarakat agar mereka termotivasi untuk memanfaatkannya insentifnya,” kata Wijayanto.
Terkait dengan optimalnya penerapan kebijakan tersebut oleh pemerintah, Wijayanto menilai selama ini komunikasi pemerintah masih kurang memadai, terutama dalam menjelaskan manfaat insentif kepada masyarakat.
Baca Juga: Dilema Mendang Lebih Baik Berkat Kenaikan PPN 12 Persen, Langganan Netflix Mahal Tapi Perlu Dihibur. Apakah situasinya berbeda?
Pemerintah menyatakan perekonomian akan tetap stabil ketika tarif PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022. Namun, menurut Wijianto, keadaan saat ini sangat berbeda.
Pada tahun 2022, perekonomian berada dalam fase pemulihan dari pandemi COVID-19 dengan peningkatan permintaan pembelian yang tajam.
“Saat ini perekonomian global sedang melambat, daya beli masyarakat rendah, dan dampak politik global seperti kemenangan Donald Trump pada pemilu presiden AS dapat berdampak pada perekonomian Indonesia. Stimulus sangat diperlukan dalam situasi ini. kata Wijayanto.
Baca Juga: Pelajar dan Warga Korea Akan Demo di Depan Istana Tolak Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12 Persen Apakah PPN 12% sudah sesuai dengan asas keadilan?
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan. Menurut Luigianto, kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai dan penyesuaian upah minimum di provinsi cenderung menguntungkan pemerintah dan pekerja, namun justru membebani pengusaha.
“Berbagai langkah pemulihan yang dicanangkan belum memberikan manfaat langsung bagi pengusaha. Seharusnya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih ramah terhadap pengusaha.
Jika pengusaha lokal kehilangan semangat berinvestasi, bagaimana investor asing bisa tertarik berinvestasi di Indonesia?
Baca juga: Petisi Desak Prabowo Hapus Pajak Pertambahan Nilai 12 Persen Lebih dari 80.000 orang menandatangani rencana PPN 12 persen. Apakah perbaikan dalam administrasi perpajakan dapat ditelusuri?
Wijayanto meyakini kenaikan tarif PPN hanya akan efektif jika dibarengi dengan perbaikan menyeluruh di bidang perpajakan. Tanpa perbaikan administrasi perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan pengawasan dan antikorupsi, peningkatan bea masuk hanya akan menambah beban masyarakat tanpa memperbaiki kondisi anggaran.
Pertanyaan ini harus terjawab sebelum kebijakan PPN 12 persen diterapkan secara formal. Jika tidak, risiko menurunnya daya beli dan keengganan berinvestasi dapat berdampak lebih buruk terhadap perekonomian nasional. Dengarkan berita terkini dan kumpulan berita kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp sp-globalindo.co.id: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi WhatsApp.