DAMASCUS, sp-globalindo.co.id – Aron Lund, peneliti di lembaga think tank Century International, meyakini jatuhnya rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad ada kaitannya dengan berkurangnya dukungan sekutu.
Pemberontak Suriah menggulingkan Assad dalam dua minggu.
Kota-kota besar jatuh dari tangan pemerintah Suriah, dan pada Minggu (8/12/2024), ibu kota Damaskus direbut oleh pemberontak.
Baca juga: Timeline Jatuhnya Rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah
Perang saudara di Suriah dimulai pada tahun 2011 dengan penganiayaan terhadap oposisi.
Selama empat tahun terakhir, sebagian besar garis depan tetap tidak berubah sampai pemberontak akhirnya melancarkan serangan besar-besaran.
Di bawah ini adalah peran sekutu Assad dan alasan lemahnya dukungan mereka, menurut AFP. 1. Rusia fokus menginvasi Ukraina
Rusia dan Iran adalah kekuatan militer, politik, dan sekutu utama Suriah.
Keberhasilan Assad dalam merebut kembali wilayah yang hilang setelah konflik tahun 2011 sebagian besar disebabkan oleh intervensi militer Moskow, namun ia sangat bergantung pada bantuan Rusia.
Pada tahun 2015, dukungan angkatan udara Rusia mengubah jalannya perang. Shamal terus mendukung Assad.
Namun, serangan pemberontak bulan lalu terjadi pada saat Rusia masih fokus pada Ukraina.
Kali ini, serangan udaranya gagal menumpas pemberontak yang merebut kota-kota besar seperti Aleppo, Hama, Homs, dan kemudian Damaskus.
Upaya Abu Mohammed Al Julani, pemimpin kelompok pemberontak Hayat Tahrir Al Sham (HTS), “untuk membangun kekuatan dan mengkonsolidasikan sebagian besar pemberontakan di bawah kepemimpinannya adalah bagian besar dari cerita ini,” jelas Aron Lund. 2. Iran sibuk menyerang Israel
Iran, sekutu Assad lainnya, telah lama memberikan penasihat militer kepada tentara Suriah dan mendukung pasukan pro-pemerintah di lapangan.
Namun, sejak dimulainya perang di Gaza, Iran dan sekutunya kini terlibat perang melawan Israel.
“Pada akhirnya, kelangsungan hidup rezim Assad bergantung pada apakah Iran dan Rusia memandang Assad berguna bagi strategi regional mereka,” kata Nick Heras, peneliti di New Lines Institute, kepada AFP sebelum pemberontak merebut Damaskus.