GAZA, sp-globalindo.co.id – Sebuah roket Israel menghantam tanah di Gaza sehingga menimbulkan ledakan besar. Beberapa detik kemudian, orang-orang berteriak dan berlarian.
Mereka berlari mencari tempat persembunyian. Sebab, sebuah rudal ditujukan ke gedung yang tidak diketahui.
Namun, lokasi sasarannya berada di dekat tenda di Al Mawasi, zona kemanusiaan yang sama di mana tentara Israel memerintahkan orang-orang untuk pergi.
Baca juga: HRW menuduh Israel melakukan kejahatan perang karena warga Gaza terpaksa terus mengungsi
Saat ditanya Sky News, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tidak menjelaskan alasan lokasi tersebut menjadi sasaran pada Rabu pagi (13/11/2024).
Mawasi adalah tempat pengungsian massal, dengan lebih dari satu juta warga Ezhan tinggal di tenda.
Bahkan, warga kerap berpindah atau terpaksa mengungsi akibat serangan tentara Israel.
“Kami tidak tahu harus pergi ke mana. Tidak ada tempat yang aman untuk pergi,” kata seorang wanita, dikutip Sky News, Jumat (15/11/2024).
“Tidak ada tempat yang aman, jadi kami tidak tahu, kami tidak punya apa-apa. Kami kehilangan semua yang kami punya,” imbuhnya.
Sementara serangan militer Israel di Gaza terus berlanjut, jumlah orang yang berada di kamp pengungsi terus meningkat.
Meskipun IDF memerintahkan untuk pindah ke selatan, sebanyak 75.000 orang tetap berada di utara, beberapa ditangkap, dan yang lainnya tidak mampu atau tidak mau pindah.
Baca Juga: Kisah Ibu Gaza yang Berjuang Memberi Makan 7 Anaknya Sebut Kematian Akhir dari Penderitaan
Sementara itu, menurut angka PBB, lebih dari seribu warga Gaza telah terbunuh di wilayah tersebut sejak operasi dimulai pada 5 Oktober 2024, banyak dari mereka tewas akibat serangan roket terhadap bangunan tempat tinggal atau kamp sementara.
IDF hanya memberikan sedikit rincian tentang operasi tersebut dan terus mengklaim bahwa Hamas telah berkumpul kembali.
Berbeda dengan bulan-bulan pertama perang, IDF hampir tidak menerbitkan bukti yang mendukung serangan terhadap sasaran Hamas di Gaza utara.
Petugas penyelamat dan petugas medis mengatakan mereka tidak diberi akses ke sebagian besar wilayah utara.
Organisasi bantuan mengklaim bahwa mereka sering dicegah untuk mengakses Jabalia, Beit Hanun dan Beit Lehia, kota-kota di utara.