KEMENANGAN Donald Trump dari Partai Republik melawan Kamala Harris dari Partai Demokrat pada pemilihan presiden (Pilpress) Amerika Serikat (AS) 2024 memang tidak mengejutkan.
Pemilihan presiden AS juga membawa dimensi berbeda. Tentu saja yang paling digemari adalah aspek politik, itulah sebabnya Trump mampu mengalahkan Harris yang sejak awal difavoritkan menang.
Artikel ini tidak berfokus pada kajian dimensi politik kemenangan Trump, namun mengkaji isu-isu lain yang menimbulkan kekhawatiran mengenai munculnya peningkatan pengawasan terhadap kredibilitas media.
Tradisi politik seputar pemilu presiden AS mengakui bahwa media massa tradisional (surat kabar, majalah, televisi, radio) harus memainkan peran penting.
Namun tak lama setelah berita kemenangan Trump, CNN melaporkan bahwa loyalis Trump menyatakan kemenangan tersebut sebagai “kekalahan terbesar” melawan hegemoni “kompleks industri media perusahaan”.
Tuduhan tersebut ditujukan pada industri konglomerat media AS. “Warisan media sudah berakhir,” tulis Matt Walsh, podcaster The Daily Wire di media X (6/11/2024).
Menurutnya, kemampuan narasi yang dibangun oleh geng “kompleks industri media perusahaan”, termasuk CNN, CBS, CNBC, New York Times, Fox, Washington Post dan lainnya, telah hancur total. Keberadaan mereka dianggap tidak diperlukan.
Tentu saja, narasi yang dibangun oleh para loyalis Trump perlu dikaji secara cermat dan kritis baik dalam praktik maupun kajiannya. Apakah ini benar? Pertarungan media dengan Trump
Kemenangan Trump memang menimbulkan pertanyaan kritis mengenai keberadaan dan peran media (cetak, televisi, radio, dan digital) dalam membentuk opini publik AS.
Pasalnya, sejak awal Trump mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada Pilpres 2016 lalu, media telah mencapnya dengan stigma buruk, yaitu “demagog rasis”. Dapat dimengerti bahwa promosi Trump selama kampanyenya adalah anti-imigran.
Serangan terhadap media Amerika meningkat pada masa kepresidenan Trump (2016-2020). Media akan lebih memperhatikan gaya kepemimpinan dan kepribadiannya dibandingkan agendanya.
Melalui Twitter (dia sekarang menyebut media sebagai musuh publik rakyat Amerika.
Ada studi Journal of Social Media in Society tahun 2018 oleh Eric Dunning dari Universitas Maryland, “Donald Trump’s Political Frames and Twitter Attacks.”
Pada tahun 2017, Trump menulis 372 tweet, sebagian besar (180 tweet) adalah tentang “Berita Palsu” dari New York Times (37 tweet), CNN (34 tweet), dan NBC (32 tweet). Menurut Trump, sebagian besar media menulis informasi palsu tentang dirinya.
Jika Trump kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, pertarungan antara Trump dan media akan terus berlanjut.
Media terus menggambarkan karakter Trump secara negatif alih-alih mengkritik program lapangan kerja yang ia usulkan. Trump telah mendapatkan gelar “Dihukum karena Kejahatan”, “Penyintas Pemakzulan Dua Kali”, “Penyintas Pembunuhan”, dan “Demagog Berbahaya”.
Faktanya, serangan terhadap media tidak berhenti setelah kemenangan telak dalam pemilu presiden. Misalnya, New York Times memberi judul, “Trump memenangkan era ketidakpastian bagi bangsa ini.”
Kemenangan Trump dipicu oleh kekhawatiran akan ketidakpastian masa depan negaranya. Trump mengancam demokrasi AS.
“Kemenangan Trump menjadi presiden kedua yang memenangkan masa jabatan tidak berturut-turut, pelanggar pertama,” tajuk utama Washington Post.
Subpos pelanggaran pertama ditetapkan bersalah secara hukum. Artinya, Trump dinyatakan bersalah dalam satu dari empat kasus yang sedang menunggu keputusan. Surat kabar ini juga prihatin dengan pembalasan Trump terhadap lawan politiknya.
Los Angles Times “Donald Trump, mantan presiden yang dua kali didakwa dan dihukum karena kejahatan. Memilih kembali ke Gedung Putih.
Media secara tidak adil telah menyudutkan Trump sebagai penjahat dengan pendidikan buruk dan dua kali dimakzulkan.
Pada saat yang sama, CNN menulis bahwa Trump akan membawa “kekuatan yang mengganggu” baik di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia.
Nancy Gibbs, seorang analis media di Harvard Kennedy School, menyesalkan perilaku media AS, yang kurang menunjukkan minat untuk mengkaji isu-isu terkait program yang dijual oleh calon presiden. Media lebih memilih menonjolkan sosok atau karakter calon presiden.
Survei Pew Research Center mengenai pemilu presiden 2016 menemukan bahwa 74 persen media lebih suka mengkaji gaya kepemimpinan dan karakter calon presiden. Hanya minoritas (26 persen) yang mendukung agenda politik calon presiden.
Pemaparan ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2016, media membekali Trump dengan isu-isu negatif terkait kepemimpinan dan karakternya.
Ada anggapan bahwa agenda media adalah membentuk opini publik sedemikian rupa agar tidak memilih Trump di atas kertas.
Namun fakta (das sein) membuktikan Trump memang memenangkan Pilpres AS 2024. Mengapa pandangan negatif media terhadap Trump kurang kuat? Musim gugur bukanlah akhir
Faktanya, para praktisi media dan akademisi komunikasi massa di AS belum mendapatkan jawaban yang jelas mengenai seberapa efektif media dalam membentuk opini publik pada pemilu presiden AS.
Banyak variabel yang bisa menjadi faktornya. Salah satu variabel yang perlu diperhatikan adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media.
Survei Gallup yang dilakukan pada 3-15 September 2024 menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi media berada pada level terendah yakni 31 persen.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah/pemerintah daerah (67 persen), pemerintah pusat (55 persen), Mahkamah Agung/Mahkamah Agung AS (48 persen), pemerintah federal (43 persen), lembaga kepresidenan (40 persen), dan kantor DPR/Senat (34 persen).
Jika hasil survei tersebut dianalisis lebih detail melalui profil responden, maka responden yang bersimpati pada Partai Republik merupakan kelompok dengan tingkat kepercayaan paling rendah dengan skor 12 persen.