Prestasi olahraga memang menjadi cerminan kemajuan suatu negara. Oleh karena itu, upaya berkelanjutan untuk meningkatkan prestasi olahraga harus menjadi agenda strategis yang tidak dapat dihindari bagi seluruh pemangku kepentingan olahraga, dengan langkah-langkah yang tepat sasaran dan relevan.
Sehubungan dengan hal tersebut, saya ingin berbagi pengalaman mengikuti olahraga dengan harapan dapat menjadi strategi dan model dalam membangun olahraga nasional serta semakin banyak atlet Indonesia yang dapat meraih prestasi lebih tinggi di kancah dunia.
Pengalamannya menjadi Ketua Pengurus Ikatan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (ISSI) periode 2015-2019 merupakan salah satu cabang olahraga yang tidak diperhitungkan sebelumnya, namun kemudian perlahan mulai eksis atau meraih kesuksesan di tingkat internasional.
Mengelola olahraga dari masa lalu yang tanpa harapan menuju kemajuan telah membawa saya menemukan banyak penyebab atau masalah yang sebenarnya sama dengan apa yang terjadi, atau setidaknya pengalaman, di olahraga lain.
Misalnya, merosotnya ISSI yang disebabkan oleh beberapa faktor. ISSI sebelumnya cukup dinamis, sehingga karena gengsi kepengurusan atau karena persaingan memperebutkan jabatan organisasi, bahkan di tingkat kepengurusan umum terpecah menjadi empat kubu.
Satu hal yang sebenarnya cukup lumrah mengingat di Indonesia, jabatan ketua umum suatu federasi atau olahraga nasional, baik di tingkat nasional maupun daerah, cenderung hanya menjadi ajang hiburan belaka, hingga kemudian menjadi ajang hiburan. hanya tunduk pada kompetisi, bahkan oleh mereka yang tidak memahami atau mengetahui cara mengelola atau mencapai prestasi dalam olahraga.
Belum lagi banyak informasi di luar sana mengenai olahraga yang sebenarnya tidak terlalu relevan, atau informasi palsu khususnya di kalangan pelaku olahraga, selain faktor pengalaman yang dalam hal ini adalah tradisi yang kurang baik atau bahkan kontraproduktif. atau motivasi untuk keuntungan pribadi dan kelompok.
Padahal, olahraga harus dikelola dengan mengacu pada standar yang berlaku secara internasional. Misalnya untuk balap sepeda, sumber atau acuannya adalah International Cycling Union (UCI), maka arahan untuk balap sepeda harus ada di sana.
Seperti halnya olahraga lainnya, olahraga tersebut harus menjadi atau menjadi bagian penting dari struktur, standar, dan peraturan yang berlaku secara internasional.
Di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, ketika beberapa organisasi yang menyelenggarakan olahraga hanya berfokus pada dinamika organisasi atau perebutan posisi, hal ini sering kali berujung pada konflik internal dan mengabaikan peningkatan kinerja.
Terlihat para pengelola di semua tingkatan menunjukkan antusiasme yang luar biasa dalam setiap peninjauan atau kongres organisasi olahraga.
Namun setelah itu, atau dari segi tindakan organisasi, tidak banyak fokus, bahkan ada daerah yang tidak ikut atau berpartisipasi dalam kegiatan atau kegiatan di tingkat nasional.
Kenyataannya, buruknya pengorganisasian dan manajemen yang mengakibatkan kurangnya penekanan pada peningkatan prestasi olahraga sangat berdampak pada pencapaian prestasi olahraga nasional, terutama dalam kompetisi, tetapi juga di tingkat internasional, baik di beberapa event, maupun regional. ajang federasi dan kejuaraan pada tingkat federasi internasional.
Namun jika kita mau menganalisanya secara mendalam, permasalahan olahraga nasional sebenarnya cukup luas, mencakup banyak dimensi. Hal ini menjadi suatu ekosistem yang saling berhubungan atau berkaitan erat sehingga harus diperlakukan secara holistik.
Pertama, persoalan atlet. Latar belakangnya sangat mendasar dan nampaknya pengelolaan dan pengembangan sejak usia dini tidak terkelola dengan baik, tanpa tata kelola yang jelas dan komprehensif.
Atlet seringkali bekerja sendiri, dengan inisiatif mandiri, sedangkan pengelola organisasi olahraga sibuk atau sibuk sendiri.
Belum lagi persoalan suka dan tidak suka dalam merekrut atlet untuk ajang olahraga, para atlet yang mewakili daerah atau bahkan masuk tim seringkali bukanlah atlet terbaik.
Selain itu, banyak cabang olahraga yang tidak menerapkan indikator kinerja utama (KPI), termasuk program seleksi atlet yang ketat dan jelas.