JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Presiden Joko Widodo telah memimpin Indonesia selama 10 tahun, mulai 2014 hingga 2024.
Pada masa kepemimpinannya, Indonesia mengalami beberapa dinamika politik yang signifikan, salah satunya adalah ketatnya persaingan pada pemilu 2019.
Pada pemilu 2019, Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto, melanjutkan rivalitas politik yang dimulai sejak pemilu presiden tahun 2014.
Pertarungan ini mencerminkan tingginya polarisasi politik di Indonesia, dimana masyarakat terbagi menjadi dua wilayah yang berlawanan.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi 10 Tahun Jokowi: Antara Janji dan Kenyataan
CEO Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan hubungan antara Jokowi dan Prabowo mengalami pasang surut sejak pemilu Jakarta tahun 2012.
Persaingan ini semakin nyata pada Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017, dan semakin kuat pada Pilpres 2019.
“Secara pribadi, karena hubungan Prabowo-Jokowi mengalami pasang surut pasca Pilkada Jakarta 2012. Kemudian masing-masing mempunyai peluang politik yang berbeda dari Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017, dan Pilpres 2019,” kata Agung. Kepada sp-globalindo.co.id, Minggu (13/10/2024).
Polarisasi ini bukan sekadar perbedaan pandangan politik, namun sudah menjadi fenomena yang merusak hubungan personal antar individu.
Faktanya, istilah “cebong” ditujukan untuk pendukung Jokowi, dan “kampret” untuk pendukung Prabowo.
Baca Juga: TKN: Jokowi dan Prabowo Bersatu, Cebong-Kampret Menyingkir
Menurut Agung, dinamika politik dan antagonisme yang muncul dalam kontestasi ini merupakan buah dari strategi politik masing-masing kelompok yang berhasil.
“Di sisi elektoral, dinamika politik sepanjang perjuangan politik pemilu merupakan hasil dari strategi politik yang dilakukan masing-masing kelompok oposisi/konsultan,” kata Agung.
Prabowo sendiri pernah mengakui masyarakat Indonesia saat itu sedang terpecah belah. Ia menambahkan, situasi saat itu sangat serius, apalagi setelah Jokowi dinyatakan sebagai pemenang.
Sebab, kata Prabowo, ia melihat para pendukungnya sangat marah dengan situasi yang terjadi. Prabowo kemudian menyadari bahwa jika dirinya turut memperburuk situasi, potensi perpecahan bangsa akan semakin besar.
“Saya melihat para pengikut saya di ambang kemarahan saat itu. Saya ingat, saya sadar, saya paham, hati-hati, Indonesia selalu menjadi korban perpecahan, selalu menjadi korban adu domba. Selalu menjadi korban perpecahan. Impera, kata Prabowo, Selasa (2023/07/11) saat menghadiri Rakernas Lembaga Dakwah Indonesia (LDII) di Jakarta Timur.
Saling serang dengan kampanye negatif
Polarisasi yang terjadi tak lepas dari saling serang antara kubu Jokowi dan Prabowo saat kampanye.
Partai besutan Jokowi kerap melontarkan pertanyaan terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo di era Orde Baru.
Selain itu, Partai Gerindra pimpinan Prabowo juga menuding Jokowi sebagai partai dengan mantan calon legislatif paling korup, mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW).
“Tanda tangan caleg sebagai ketua umum berarti Pak Prabowo yang menandatangani. Bagaimana penjelasannya?” tanya Jokowi saat debat pertama calon Pilpres 2019, Kamis (17/1/2019).
Baca juga: Dua Pertemuan Jokowi-Prabowo Jelang Pelantikan Presiden Baru,
Kasus ini dimanfaatkan Jokowi untuk mempertanyakan kredibilitas Prabowo sebagai calon pemimpin nasional.