Belum genap tiga minggu, mereka pun tak bercucuran keringat, anggota DPR RI berdebat soal tunjangan perumahan tahun 2024-2029.
Kebijakan pemberian tunjangan sebesar 50 juta dolar per bulan kepada anggota DPR RI selama tahun 2024-2029 menuai kritik keras dari masyarakat.
Masyarakat mempertanyakan keadilan sosial dari kebijakan ini, terutama ketika perekonomian tidak stabil. Masyarakat menilai pendanaan sebesar itu tidak mencerminkan perasaan masyarakat yang menghadapi tekanan ekonomi.
Kritik ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap pengelolaan anggaran publik, khususnya tunjangan dan tunjangan bagi pejabat pemerintah.
Penggantian tunjangan perumahan pemerintah dengan tunjangan memberikan keleluasaan bagi anggota DPR dalam memilih tempat tinggal. Namun, masyarakat menilai jumlah 50 juta dolar per bulan itu berlebihan.
Dalam pengelolaan anggaran publik, kebijakan ini dinilai tidak efektif dan tidak fokus pada urgensi kebutuhan negara saat ini.
Masyarakat bertanya-tanya apakah kebijakan ini benar-benar diperlukan, atau justru justru memperburuk kesenjangan antara pemimpin dan masyarakat?
Apalagi, kebijakan ini memunculkan persoalan disparitas sumber daya antar anggota DPR. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), terlihat terjadi perubahan signifikan pada jumlah kekayaan yang dimiliki anggota DPR.
Beberapa anggota DPR memiliki kekayaan yang sangat besar sehingga banyak yang menganggap mereka tidak membutuhkan tunjangan sebesar itu. Hal ini memperkuat kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak mencerminkan prinsip keadilan.
Dalam perspektif yang lebih luas, kebijakan ini juga berdampak pada hubungan antara pembentuk undang-undang dan konstituennya. Anggota DPR diharapkan bisa mewakili rakyat dan hidup sederhana.
Namun, pemberian kompensasi yang tinggi dapat meningkatkan kesenjangan antara mereka dan masyarakat. Kebijakan ini dapat merusak citra DPR sebagai lembaga yang seharusnya demokratis dan memperjuangkan kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. Keadilan sosial
Dalam pengelolaan anggaran publik, terdapat pertanyaan serius apakah kebijakan kompensasi benar-benar sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan.
Padahal, anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat harus diprioritaskan pada hal-hal yang mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Di saat banyak masyarakat yang masih berkutat dengan berbagai tantangan kehidupan sehari-hari, tidak beralasan jika memberikan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan kepada anggota DPR.
Kritik ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara pengambilan kebijakan publik tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.