Tunjuk OC Kaligis, Mitora Kembali Gugat Yayasan Purna Bhakti Pertiwi Terkait Museum Soeharto di TMII
sp-globalindo.co.id – Perusahaan asal Singapura, Mitora Pte. Ltd., mengganti perkaranya dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi setelah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengeluarkan putusan yang memenangkan keluarga Cendana dalam perkara wanprestasi tersebut.
Mitora mengajukan permohonan untuk membatalkan keputusan BANI atas tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi.
Konflik bermula pada tahun 2018, ketika Yayasan Purna Bhakti Pertiwi gagal memenuhi janji membayar dalam gugatan yang diajukan Mitora ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).
Yayasan ini dipimpin oleh Siti Hardianti Hastuti Rukmana (Tutut) sebagai Ketua Umum, Bambang Trihatmojo sebagai Sekretaris Jenderal, dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek) sebagai Bendahara Umum.
Baca juga: Profil Gudfan Arif, Bendahara Umum PBNU yang Akan Pimpin Perusahaan Tambang NU
Akibat proses negosiasi tersebut, Mitora menarik kembali aksinya pada tahun 2018. Perjanjian tersebut tertuang dalam surat tugas yang dikeluarkan oleh Soehardjo Soebardi, dan juga terdapat logo Yayasan Harapan Kita.
Dalam surat penugasannya, Yayasan Harapan Kita menyatakan akan menanggung kewajiban pembayaran Yayasan Purna Bhakti Pertiwi senilai Rp104 miliar.
Kuasa hukum Mitora, OC Kaligis mengungkapkan, permohonan arbitrase yang diajukan terhadap perusahaan Mitora oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang menyatakan Mitora telah gagal dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) nomor 13 tanggal 7 April 2014, merupakan kesalahan besar yang dilakukannya.
Permintaan tersebut terdaftar dengan nomor proses 47013/11/ARB-BANI/2024.
Baca juga: Polisi Akan Serahkan Berkas Kasus Tersangka Pengintimidasi Mahasiswa di Surabaya ke Kementerian Kehakiman
Menurut Kaligis, jauh sebelum proses arbitrase dimulai, Mitora sudah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 952/G/2018/PN.Jkt.Sel.
“Dalam proses persidangan, pihak yayasan meminta kami untuk mencabut kasus tersebut dan menyelesaikan permasalahan hukumnya secara damai,” ujarnya dalam keterangan yang diterima sp-globalindo.co.id, Selasa (19/11/2024).
Lebih lanjut Kaligis menyatakan, pada tahun 2018 Yayasan Purna Bhakti Pertiwi mengakui adanya hutang sebesar Rp104 miliar kepada Mitora dan menyetujui pembayarannya melalui surat tugas yang dikeluarkan oleh Soehardjo Soebardi.
Namun meski sudah ada kesepakatan, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi hanya membayar sebagian utangnya yakni Rp 16 miliar dan Rp 14 miliar sehingga masih ada sisa utang sebesar Rp 74 miliar yang belum terlunasi.
Baca juga: Soal Pencucian Utang UMKM, Bos OJK: Catatan di SLIK dihapuskan
“Surat penugasan yang kami terima pada tahun 2019 menyatakan pengakuan utang tersebut. Namun hingga saat ini kewajiban tersebut belum sepenuhnya terpenuhi,” kata Kaligis mengacu pada surat tugas nomor 01/Pem-YHK/ST/VI/2019 tanggal 3 Juli. 2019.
Padahal Mitora telah mengajukan perkara ke pengadilan lebih dari empat kali sejak tahun 2018. Pada tahun 2024, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kembali mengajukan perkara arbitrase berdasarkan wanprestasi.
“Pada tahun 2024, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi membuka perkara BANI nomor 47013/I/ARB-BANI/2024 terhadap Mitora tanpa alasan yang jelas, sehingga melanggar prosedur yang ada seperti pembayaran biaya perkara yang terhutang kepada Mitora,” jelas Kaligis.