“Pastikan petanya sudah siap sebelum Anda berlayar.” Pepatah tersebut nampaknya sangat relevan dengan ketidakpuasan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat Indonesia membutuhkan panduan yang jelas untuk menavigasi berbagai saluran yang ada. Kebingungan masyarakat akibat banyaknya pengaduan masyarakat di Indonesia semakin memudahkan dan justru menambah kompleksitas.
Di dunia yang berubah dengan cepat ini, kemudahan akses dan kejelasan dalam melaporkan permasalahan sangatlah penting. Keluhan masyarakat telah menjadi fokus utama upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di era digital.
Kami berharap dengan adanya berbagai platform layanan dapat memudahkan warga menyampaikan keluh kesah dan keinginannya.
Salah satu program yang baru-baru ini diluncurkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah “Lapor Mas Wapres” yang bertujuan memberikan saluran pengaduan langsung kepada masyarakat.
Meski memiliki niat baik, kehadiran beberapa saluran pengaduan seperti LAPOR!, Lapor Ombudsman, dan aplikasi Wapres Lapor Mas justru menimbulkan kebingungan yang tidak masuk akal bagi pengguna. Orang sering kali merasa terjebak oleh terlalu banyak pilihan.
Seiring dengan kemajuan teknologi, harapan untuk menjadikan informasi lebih mudah diakses dan keluhan masyarakat terperosok dalam kompleksitas.
Pengguna seringkali bingung memilih saluran mana untuk melaporkan masalah yang mereka hadapi. Sepertinya Anda terjebak dalam labirin pilihan yang membuat proses pengajuan banding menjadi mengkhawatirkan.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerintah harus mempertimbangkan cara untuk menyederhanakan proses ini.
Dengan mengintegrasikan aparatur sipil negara, proses perolehan suara masyarakat bisa lebih mudah, cepat, dan efisien.
Langkah ini akan membantu menciptakan saluran yang lebih efisien dan responsif, sehingga masyarakat merasa lebih terlibat dalam peningkatan pelayanan publik.
Bayangkan sejenak ketika seseorang ingin melaporkan pelayanan publik yang mengecewakan, mereka dihadapkan pada pilihan di antara tiga saluran yang fungsinya hampir sama.
Rasanya seperti memilih menu makanan di restoran yang begitu banyak pilihannya, hanya berakhir dengan kebingungan dan memutuskan untuk tidak memesan apa pun di menu tersebut.
Ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, masyarakat seringkali berpikir: “Haruskah saya menggunakan LAPOR untuk pengaduan pelayanan publik? Apakah saya harus melaporkannya ke Ombudsman Bidang Administrasi? Atau saya laporkan saja Mas ke Wakil Presiden Bidang Aspirasi Sosial?”
Di tengah kebingungan ini, muncul pertanyaan lain: “Atau haruskah saya mengunggah pengaduan saya ke media sosial agar lebih banyak tersebar dari mulut ke mulut dan memungkinkan pihak berwenang untuk segera merespons?”