SEOUL, sp-globalindo.co.id – Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengejutkan negaranya pada Selasa malam (12/3/2024) dengan mengumumkan keadaan darurat militer. Ia menuduh oposisi sebagai kekuatan anti-negara yang mengancam demokrasi Korea Selatan.
Namun, enam jam setelah pengumuman tersebut, Yoon membatalkan keputusannya.
Langkah ini dilakukan setelah parlemen dengan suara bulat menolak keputusannya dan seruan agar dia mengundurkan diri semakin meningkat.
Baca juga: 6 Partai Oposisi Korea Selatan Resmi Ajukan Mosi untuk Memakzulkan Presiden. Apa itu darurat militer?
Menurut The Guardian, dalam pidato daruratnya semalam, Yoon mengatakan langkah tersebut diperlukan untuk melindungi demokrasi Korea Selatan dari elemen anti-negara dan ancaman dari Korea Utara.
Keputusan enam poin tersebut segera diumumkan oleh komandan darurat militer Jenderal Park Aung-soo, yang mencakup larangan kegiatan politik dan partai, propaganda palsu, pemogokan buruh dan pertemuan yang dianggap memicu kerusuhan sosial.
Media juga ditempatkan di bawah kendali militer, sementara semua staf medis, termasuk dokter yang mogok, diperintahkan untuk kembali bekerja dalam waktu 48 jam.
Langkah ini membangkitkan kenangan kelam pemerintahan otoriter Korea Selatan pada tahun 1980an, sebelum transisi menuju demokrasi.
Yoon mengatakan langkah ini merupakan respons terhadap pemotongan anggaran oposisi sebesar 4,1 triliun won, yang menurutnya membahayakan fungsi inti negara. Apa yang terjadi di parlemen?
Keputusan Yun menimbulkan kekacauan di gedung parlemen. Militer mengepung Majelis Nasional, bahkan menempatkan helikopter di atap gedung.
Namun, 190 anggota parlemen berhasil melakukan intervensi dan dengan suara bulat menolak penerapan darurat militer. Mereka juga menyerukan pencabutan segera tindakan tersebut.
Ratusan pengunjuk rasa menyerukan penangkapan Yun di dekat gedung. Beberapa bentrok dengan tentara, namun tidak ada laporan korban luka serius.
Baca juga: Apa jadinya jika Presiden Korea Selatan dimakzulkan? Mengapa Yoon membatalkan keputusannya?
Konstitusi Korea Selatan mengharuskan presiden untuk menghormati suara parlemen. Meskipun militer pada awalnya mengumumkan bahwa darurat militer akan tetap berlaku, tekanan politik yang meluas memaksa Yun untuk mengalah.
Bahkan, pemimpin partai Yun sendiri, Partai Kekuatan Rakyat, menyebut keputusan itu sebuah kesalahan. Sementara itu, oposisi utama, Partai Demokrat, menggambarkan tindakan tersebut sebagai kudeta.
Setelah rapat kabinet, Yoon mencabut keputusan tersebut, memerintahkan pasukan untuk kembali ke barak. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Pergolakan politik ini merusak reputasi Yun di dalam dan luar negeri. Banyak warga Korea Selatan, terutama generasi tua yang hidup di bawah kediktatoran militer, merasa terhina dan terganggu dengan tindakan Yun.
“Pemakzulan adalah kata yang paling banyak dibicarakan,” tulis Raphael Rasheed, reporter The Guardian di Seoul.
Tekanan politik terhadap Yun terus meningkat. Partai oposisi utama menyerukan pengunduran dirinya, sementara serikat pekerja utama di negara itu mengancam akan melakukan pemogokan umum tanpa batas waktu sampai Yoon mengundurkan diri.
Bahkan, pihak Yuna menyebut kejadian tersebut tragis dan menyerukan tanggung jawab penuh bagi pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut.
Baca Juga: Garis Waktu Darurat Militer di Korea Selatan dari Deklarasi hingga Pemberontakan
Tindakan Yun yang menyebabkan pembatalan ini menunjukkan bahwa kepresidenannya kini berada dalam bahaya serius. Dengarkan berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp sp-globalindo.co.id: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi WhatsApp.