SP NEWS GLOBAL INDONESIA

Berita Seputar Global Indonesia

Global

Vonis Donald Trump dan Kekosongan Hukum Tata Negara

Dua minggu sebelum pelantikan presiden ke-47, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, divonis bersalah karena menyembunyikan pembayaran $130.000 kepada Stormy Daniels.

Keputusan ini dikeluarkan Pengadilan Negeri New York pada Jumat 10 Januari 2025 pukul 09.30 waktu setempat.

Putusan Donald Trump ini memicu perdebatan di kalangan pakar hukum tata negara, khususnya di Amerika, mengenai kekebalan hukum presiden terpilih yang belum dilantik, apakah setara dengan presiden yang sedang menjabat atau memiliki hak hukum yang berbeda.

Dalam banyak konstitusi di dunia, termasuk di Indonesia, pengaturan mengenai seorang presiden terpilih yang menghadapi hukuman pidana sebelum pelantikan merupakan salah satu persoalan konstitusi yang tidak diatur secara khusus.

Hal ini menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi menimbulkan krisis politik, perdebatan konstitusi, dan berimplikasi pada legitimasi hasil pemilu dan proses pelantikan.

Seperti dikutip Kompas, hakim menjatuhkan hukuman pembebasan tanpa syarat kepada Trump karena Konstitusi AS melindungi presiden AS dari tuntutan pidana.

Hakim Juan Merchan mengatakan Trump tidak akan menghadapi hukuman penjara, denda, masa percobaan atau hukuman lainnya.

Meski demikian, pelantikan Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025 tidak akan menghapus keputusan juri. Dia dinyatakan bersalah dan dicatat.

Dengan catatan kriminal ini, Trump akan menjadi presiden AS pertama yang menjalani hukuman. Imunitas diberikan oleh Presiden

Ketidaksepakatan mengenai kekebalan hukum presiden terpilih yang belum berakhir, bermuara pada dua sudut pandang.

Pertama, presiden terpilih telah mendapat legitimasi penuh dari para pemilih, sehingga harus dilindungi dari proses hukum yang dapat mengganggu peralihan kekuasaan.

Hasil proses pemilu yang demokratis menempatkan amanat rakyat di atas permasalahan hukum individual.

Kedua, supremasi hukum merupakan prinsip fundamental yang tidak boleh dikompromikan. Dari sudut pandang ini, tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk presiden terpilih.

Jika presiden terpilih secara sah terbukti melakukan tindak pidana, maka persidangan harus dilanjutkan tanpa campur tangan dan berdampak pada legitimasi politiknya.

Sebagaimana lazim dalam sebagian besar konstitusi di seluruh dunia, kekebalan hukum hanya diberikan kepada presiden yang menjabat untuk melaksanakan tugas-tugas negara.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *