JAKARTA, sp-globalindo.co.id – Selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Indonesia telah mencapai dinamisme politik yang cukup besar, terutama seiring melemahnya oposisi.
Proses ini menimbulkan keraguan tidak hanya pada elemen oposisi dalam negeri, tetapi juga pada strategi politik yang diterapkan oleh Jokowi dan koalisinya.
Berikut ringkasan perjalanan politik 10 tahun Jokowi dan bagaimana oposisi melemah setelah menjadi pemimpin selama dua periode: 1. Koalisi tipis sebelum kembalinya Prabowo.
Pada Pilpres 2014, Jokowi, yang berpasangan dengan elite veteran Golkar, Jusuf Kalla (JK), hanya meraih dukungan minoritas dari PDI-P, Partai Nasdem, PKB, dan Hanura.
Saat itu, di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrin, Golkar didukung Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan Demokrat bersama Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa serta lebih dari 50 persen kursi DPR.
Koalisi Putih-Merah (KMP) akhirnya tumbang setelah Prabowo tumbang dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Bodiono digantikan oleh Jokowi-JK.
Baca Juga: Hasil Pemilu dan Pilpres 2014
Dalam praktiknya, PPP mengumumkan pengunduran dirinya dari KMP pada bulan Oktober 2014 dan PAN mengikutinya pada bulan September 2015.
Ketua PAN Zulkifli Hasan menolak untuk mempertimbangkan meninggalkan aliansi partainya, namun pada tahun 2016 partainya telah memenangkan kursi sebagai menteri pan-Arab, yang diisi oleh Azman Abnoor.
Sementara itu, Golkar menegaskan posisinya sejalan dengan pemerintah setelah konflik duo pimpinan partai antara Agung Laxono dan Aburisal Bakri pada 2016 berakhir dengan diangkatnya Setya Novanto sebagai ketua bersama.
Perlahan tapi pasti, pemerintahan Jokowi mulai mendapatkan kekuatan dari dalam parlemen, sehingga hanya menyisakan Gerindra, Demokrat, dan PKS sebagai kekuatan oposisi di parlemen.
Baca Juga: Mengenang Masa Menjadi Oposisi, SBY Sebut Ada Masyarakat yang Tak Ingin Demokrat ada di pemerintahan.
Prabowo Subianto, yang dua kali mencalonkan diri melawan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019, awalnya merupakan tokoh sentral dan simbol utama oposisi Jokowi.
Ia dan partai yang dipimpinnya selalu paling terbuka terhadap kebijakan Gerindra Jokowi, terutama di bidang ekonomi, kedaulatan, dan pemerintahan.
Bentrokan posisi Jokowi dan Prabowo memuncak pada Pilpres 2019, ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 yang menewaskan sedikitnya 6 orang.
Namun dinamika politik berubah drastis setelah Prabowo dan Jokowi menjadwalkan pertemuan pada 13 Juli 2019 di stasiun MRT Lebak Bulus.
Setelah itu, Prabowo dan Gerindra memutuskan bergabung ke kabinet Jokowi-Maruf Amin dengan berkedok rekonsiliasi nasional.
Edi Prabowo yang baru-baru ini ditangkap karena tuduhan korupsi, diberikan kursi Menteri Pertahanan dan 1 kursi Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Prabowo.
Belakangan, kuota Gerindra kembali ditambah untuk pesaing Prabowo, Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 – melalui jabatan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Baca juga: Rivalitas dan Polarisasi Politik Jokowi-Prabovo Masih Berlarut-larut
Langkah ini menjadi titik balik bagi oposisi di Indonesia.
Pada titik ini, Jokowi mampu melaksanakan strategi besar pertamanya dengan memanjakan lawan politiknya, menawarkan kekuasaan dengan kedok rekonsiliasi nasional.
Prabowo menerima musuh yang sebelumnya dia pikir tidak akan pernah bisa bersatu.
“Saya senang sekali menyampaikan kepada masyarakat bahwa mereka sudah move on,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (CJ) Gimli Ashidki usai berbicara dalam bedah buku di Jakarta, Kamis (25/7/2019). ), diperoleh dari Antara.
Namun Gimli menegaskan, peran pihak oposisi tetap diperlukan.
“Oposisi itu hakikat demokrasi, demokrasi tidak bisa berjalan tanpa keseimbangan. Ini hukum kehidupan” 2. Oposisi demokrasi setengah hati, PKS lemah.
Dengan pergantian kursi kabinet, Jokowi merangkul pihak atau oknum yang sebelumnya menentang pemerintahannya.
Pada periode kedua kepemimpinannya, strategi ini semakin sering ia tunjukkan.
Tak lama setelah Indonesia dilanda pandemi Covid-19, Pan mendapatkan kembali posisi menteri di kabinet Indonesia yang dirubah oleh Jokowi-Marufin pada tahun 2022 – Zulkifli Hassan diberi kursi menteri perdagangan.
Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan putranya Agus Harimurthy Yudhoyono (AHY) awalnya mencoba berperan sebagai oposisi yang konstruktif.
Baca Juga: Prabowo, 3 Kader Demokrat Disebut AHY: Kita Harap Jadi Tim Super
Namun, seiring berjalannya waktu, posisi Partai Demokrat kerap ambigu.
Meski terus mengkritik beberapa kebijakan Jokowi, Partai Demokrat tidak mengambil sikap oposisi sepenuhnya.
Sikap tersebut terlihat dari relasi Demokrat dengan kubu pemerintah yang berusaha mensejajarkan diri dengan koalisi Jokowi dengan menyamar sebagai oposisi.