Deklarasi bersama Indonesia-Tiongkok yang dikeluarkan pada November 2024 mencerminkan paradoks strategis yang kompleks dalam dinamika politik regional Asia Tenggara.
Di satu sisi, langkah ini menunjukkan pragmatisme Indonesia dalam mengejar kepentingan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, keputusan tersebut berpotensi mengikis landasan diplomasi yang telah dibangun Indonesia selama ini di kawasan ASEAN.
Terminologi “komunitas masa depan bersama” yang digunakan dalam deklarasi tersebut bukan hanya sekedar pilihan kata diplomatis, namun juga memiliki implikasi geopolitik yang mendalam.
Istilah ini identik dengan narasi diplomatik Tiongkok yang sering dianggap sebagai alat soft power untuk memperluas pengaruhnya di kawasan.
Pilihan Indonesia untuk mengadopsi kerangka kerja sama bilateral yang sempit dengan Tiongkok menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen Indonesia terhadap prinsip Sentralitas ASEAN.
Sebagai negara ASEAN terbesar yang letaknya sangat strategis, setiap langkah diplomasi yang dilakukan Indonesia mempunyai banyak dampak terhadap dinamika kawasan.
Pernyataan bersama ini secara tidak langsung menjadi preseden yang berpotensi melemahkan posisi kolektif ASEAN terhadap semakin meluasnya pengaruh Tiongkok di kawasan, khususnya dalam konteks sengketa Laut Cina Selatan. Tantangan terhadap kredibilitas dan kedaulatan
Persoalan menjadi lebih kompleks ketika kita mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai negara non-litigasi yang bertindak sebagai arbiter yang jujur dalam sengketa Laut Cina Selatan.
Melalui pernyataan bersama tersebut, kredibilitas Indonesia sebagai mediator netral dipertanyakan.
Negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia, yang memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih dengan Tiongkok, mungkin memandang tindakan Indonesia sebagai bentuk tantangan terhadap kepentingan kolektif ASEAN.
Selain itu, kurangnya referensi eksplisit terhadap UNCLOS sebagai kerangka hukum mendasar untuk penyelesaian sengketa maritim semakin mengaburkan situasi tersebut.
Dalam konteks Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan Natuna, pernyataan bersama ini justru berpotensi melemahkan posisi Indonesia.
Meski Indonesia bukan pihak yang berperkara dalam sengketa Laut Cina Selatan, namun tumpang tindih antara sembilan garis putus-putus Tiongkok dan ZEE Indonesia di perairan Natuna merupakan isu sensitif yang memerlukan sikap tegas.
Ketidakpastian dalam pernyataan bersama mengenai masalah tersebut dapat diartikan sebagai sikap Indonesia yang lemah terhadap klaim sepihak Tiongkok. Hal ini dapat menjadi preseden berbahaya bagi keutuhan wilayah Indonesia dan memberikan efek domino terhadap dinamika hubungan intra-ASEAN.
Di tengah kompleksitas ini, Indonesia harus melakukan manuver diplomasi secara hati-hati untuk memitigasi dampak negatif dari keputusannya.