Krisis di Timur Tengah, terutama pasca jatuhnya Presiden Bashar al-Assad di Suriah, menyebabkan meningkatnya ketegangan di kawasan.
Persaingan antara negara-negara besar seperti Iran, Israel, Turki dan Arab Saudi semakin intensif dan memperdalam ketidakstabilan yang ada.
Bagi Indonesia yang terletak di kawasan Indo-Pasifik, dinamika geopolitik di Timur Tengah tidak hanya terbatas pada perekonomian dalam negeri. Namun hal ini melemahkan posisi Indonesia sebagai aktor diplomasi global.
Dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan proaktif, Indonesia mampu memainkan peran konstruktif selama krisis. Hal ini juga menghadapi tantangan serius dalam mencapai keseimbangan antara kepentingan nasional dan kontribusi terhadap perdamaian dunia.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah dampak langsung ketidakstabilan di Timur Tengah terhadap perekonomian global, khususnya harga energi.
Sebagai importir minyak terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat bergantung pada stabilitas harga energi global.
Ketegangan di Timur Tengah, terutama antara produsen minyak utama seperti Arab Saudi dan Iran, dapat mengurangi pasokan energi global dan membuat harga minyak melonjak.
Namun di tengah tantangan tersebut, terdapat peluang untuk berperan penting dalam meredakan ketegangan di Indonesia.
Sebagai negara dengan tradisi diplomasi yang kuat dan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia dapat menampilkan dirinya sebagai mediator netral dalam konflik yang melibatkan negara-negara besar.
Pengalaman Indonesia di berbagai forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ASEAN, memberikan investasi penting bagi partisipasinya dalam diplomasi global.
Indonesia juga dapat memperkuat peran kepemimpinannya di kawasan Indo-Pasifik dengan menjaga stabilitas kawasan yang sangat dipengaruhi oleh peristiwa di Timur Tengah.
Ketegangan di Timur Tengah berdampak langsung pada kawasan Indo-Pasifik dari sudut pandang ekonomi, politik, dan keamanan. Dampak terhadap kekuatan regional
Jatuhnya Bashar al-Assad berdampak besar pada kekuatan regional di Timur Tengah.
Hilangnya Suriah sebagai sekutu strategis Iran melemahkan “Poros Perlawanan”, sebuah jaringan aliansi yang mencakup Hizbullah di Lebanon, milisi pro-Iran di Irak, dan kelompok militan di Palestina.
Suriah telah lama menjadi jalur logistik penting bagi pengiriman senjata Iran ke Hizbullah, serta menjadi tandingan pengaruh Barat dan Israel di wilayah tersebut.
Tanpa Suriah, Iran menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah, terutama akibat meningkatnya tekanan dari Israel dan Amerika Serikat.
Rusia juga menghadapi tantangan geopolitik yang serius akibat gulingnya Assad. Selama perang saudara di Suriah, Rusia adalah sekutu utama rezim Assad dan memberikan dukungan militer penting untuk memastikan kelanjutan kekuasaannya.
Melalui Suriah, Rusia memperoleh akses ke pangkalan militer strategis di Mediterania, memperkuat posisinya sebagai pemain utama di Timur Tengah. Namun, dengan jatuhnya Assad, Rusia menghadapi ancaman kehilangan sekutu utamanya di kawasan.
Dalam hal ini, Moskow harus menjaga keseimbangan antara mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah dan ikut serta dalam perang di Ukraina.
Di sisi lain, jatuhnya Assad memberikan peluang bagi negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi untuk memperluas pengaruhnya di Suriah.
Turki, yang memiliki kepentingan strategis di wilayah perbatasan Suriah, dapat menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat kendalinya atas Suriah utara dan melawan kelompok-kelompok yang mengancam keamanan nasionalnya.
Sementara itu, Arab Saudi, sebagai saingan utama Iran, melihatnya sebagai peluang untuk melemahkan pengaruh Teheran di Timur Tengah dengan mendukung kepemimpinan baru yang pro-Saudi di Damaskus.
Dampak jatuhnya Assad juga dirasakan oleh Israel yang menghadapi tantangan baru di perbatasannya.